20 September 2008

Aspek Spasial Tragedi Zakat Pasuruan

Seperti sudah diketahui pembagian zakat oleh H. Saikhon di Jl Wahidin Sudirohusodo, Kota Pasuruan, berubah menjadi "tragedi". Dari sekitar 5.000 orang yang berjejalan antre zakat di depan rumah H. Saikhon itu, 21 tewas setelah pingsan kehabisan oksigen, dan terinjak-injak. Sudah banyak sekali ulasan mengenai kejadian tersebut dari berbagai aspek mulai dari haramnya zakat tersebut, kemiskinan yang bertambah, mandul dan kurang terpercayanya BAZ, "tebar pesona" di balik ibadah, sampai dengan"kecolongannya" aparat pemerintah. Tulisan ini akan melihat dari sdudut pandang yang berbeda, yaitu aspek spasial dari tragedi tersebut.
  
Perhatikan Kota Pasuruan dilihat dari Utara dengan Google Earth, di bawah ini (silakan klik untuk tampil besar) : terlihat Kota Pasuruan merupakan kota pantai, sehingga suhu udara di siang hari cukup panas... Kel. Purutrejo, Kec. Purworejo dimana tragedi pembagian zakat terjadi (lihat pada arah selatan ada icon rumah yang menunjukkan lokasi kejadian), juga tidak jauh dari garis pantai (sekitar 4,5 km dari bibir pantai, menggunakan fasilitas ruler pada Google Earth).  



Ada baiknya terlebih dahulu kita buka  sedikit tentang sejarah Kota Pasuruan...
Kota ini merupakan kota Bandar kuno. Pada zaman Kerajaan Airlangga, Pasuruan sudah dikenal dengan sebutan " Paravan " . Pada masa lalu, daerah ini merupakan pelabuhan yang sangat ramai. Letak geografisnya yang strategis menjadikan Pasuruan sebagai pelabuhan transit dan pasar perdagangan antar pulau serta antar negara. Banyak bangsawan dan saudagar kaya yang menetap di Pasuruan untuk melakukan perdagangan. Hal ini membuat kemajemukan bangsa dan suku bangsa di Pasuruan terjalin dengan baik dan damai. Selengkapnya bisa dibaca disini. 

Saat ini Kota Pasuruan merupakan kota kecil. Luas kotanya hanya 13,58 km2, terdiri dari 3 kecamatan yang terbagi dalam 34 kelurahan. Kecamatan tersebut adalah Bugulkidul, Gadingrejo, dan Purworejo. Jumlah Penduduknya 165.992 jiwa, terdiri dari 81.313 jiwa laki-laki, 84.679 jiwa perempuan. Kepadatan penduduknya tinggi mencapai 12.223 jiwa/km2.  Sebagai kota yang padat penduduk, kota ini juga tidak lepas dari masalah sosial yang berat. Jumlah keluarga miskin pada tahun 2006 mencapai 8.512 KK, wanita rawan sosial-ekonomi 567 jiwa. Masalah sosial yang lain selengkapnya bisa dilihat pada data milik  Dinas Sosial Propinsi Jatim.

Mari kita jelajahi desa Purutrejo, dimana tragedi pembagian zakat itu terjadi dari arah selatan. Terlihat desa tersebut berada di tepi Sungai Gembong. Daerah ini merupakan daerah rawan banjir. Banjir terakhir terjadi pada Akhir Januari 2008. Saat itu seperti diberitakan Kapan Lagi.Com, ratusan warga dari Desa Purut Rejo dan Wirogunan, Kecamatan Purworejo, Kota Pasuruan, hingga Kamis pagi masih mengungsi di atas kuburan Purut Rejo dengan membawa barang-barang miliknya karena banjir masih menggenangi rumah mereka. "Di mana-mana air meninggi hingga mencapai satu meter lebih. Satu-satunya jalan ya mengungsi di kuburan ini. Kami tidak takut meskipun mengungsi sejak tadi malam karena orangnya banyak," kata seorang warga pengungsi. Warga dari dua desa itu mengungsi ke kuburan karena posisinya memang lebih tinggi dibandingkan rumah-rumah mereka. Sementara itu ribuan warga kota lainnya mengungsi ke jalan-jalan, karena rumahnya tergenang air. Bahkan ada daerah yang airnya mencapai atap rumah, seperti terjadi di sekitar stadion atau di belakang kantor Pemkot yang daerahnya memang rendah, karena mendapat tambahan luapan air dari Sungai Gembong.

Banjir yang terjadi tentu saja semakin menyengsarakan masyarakat kelas bawah di Kota Pasuruan. Apalagi biasanya daerah sepanjang tepi sungai atau bantaran kali, biasanya dihuni oleh mereka yang termasuk golongan ekonomi bawah atau sering disebut kaum marjinal.  Sementara sampai di sini dulu. Pembahasan detil lokasi kejadian (Rumah H. Saikhon) disambung diposting berikutnya...


13 September 2008

DAMPAK INTANGIBLE BENCANA LUMPUR LAPINDO




Ini beberapa butir pemikiran penulis beberapa waktu lalu (akhir februari 2007) saat warga perumtas 1 menuntut ganti rugi cash and carry dengan memblokir jalan arteri, rel dan tol. Meskipun terlambat, semoga inti pesan masih relevan.
sudah dipublish di Diskusi Sosial-Ekonomi-Politik HotMudflow


Dampak Bencana lumpur Lapindo semakin luas dan mencakup hal-hal yang selama ini tidak diperkirakan (intangible) sebelumnya. Pemblokiran jalan tol, jalan arteri, dan rel kereta api oleh ribuan warga Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (Perumtas) 1 di kawasan Porong Sidoarjo selama 2 hari, Kamis dan Jum’at beberapa waktu yang lalu, yang mengakibatkan ekonomi jawa timur terguncang, merupakan salah satu contoh paling aktual. Sebagian pengamat memperkirakan kerugian perokonomian Jatim akibat blokade korban lumpur tersebut mencapai 2 trilyun (Produk Domestik Regional Bruto Jatim per hari sekitar 1 trilyun), atau setara dengan seperempat kerugian banjir Jakarta beberapa waktu yang lalu.
Bahkan Ketua Umum PBNU, Hasyim Muzadi sampai perlu mengeluarkan pernyataan bahwa fenomena pemblokiran jalan-jalan utama di Porong termasuk rel kereta api oleh warga korban lumpur Lapindo merupakan luapan frustasi yang hampir puncak. Mereka terombang-ambing tanpa keputusan yang jelas, Hasyim mengingatkan satu fase lagi bisa terjadi kekacauan (chaos). Pemerintah pusat dalam hal ini tidak bisa hanya diam atau membiarkannya. Karena hal itu pasti merusak image pemerintah pusat atau Presiden.
Dalam beberapa kesempatan Lapindo Berantas Inc bahkan bersikukuh tidak mau memberikan ganti rugi. Alasannya, Perumtas 1 yangg terdiri dari 5.361 rumah dan dihuni 14.000 jiwa lebih itu berada di luar wilayah yang direkomendasikan oleh Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo. Pertanyaannya apa betul warga perumtas 1 berbeda kondisinya dengan warga 4 desa lain yang juga menjadi korban lumpur yaitu Desa Siring, Jatirejo, Renokenongo, dan Kedungbendo, sehingga perlakuan pihak Lapindo terhadap mereka berbeda ? atau apakah ini hanya akal-akalan pihak Lapindo untuk mengalihkan tanggung jawab kepada pemerintah ? atau Timnas Penanggulangaan Lumpur Lapindo yang kurang hati-hati dalam memperkirakan dampak lumpur Sidoarjo terhadap permukiman sekitar, sehingga wilayah yang direkomendasikannya terlalu sempit, tidak mencakup wilayah perumtas 1 ?

Dampak Tangible dan Intangible
Tulisan ini berusaha menelusur bencana lumpur Sidoarjo dari segi dampaknya baik yang terukur (tangible) maupun tidak terukur (intangible) untuk menjawab beberapa pertanyaan di atas. Dampak bencana tangible merupakaan dampak bencana yang bisa dihitung dan biasanya dinyatakan dengan terminologi moneter. Dampak tangible dibedakan 2, yaitu langsung (direct) dan tidak langsung (indirect). Dampak langsung yang terkait dengan lumpur Sidoarjo adalah terendamnya rumah warga termasuk terendamnya jalan tol Porong Gempol di sekitar pusat luberan lumpur. Dampak tidak langsung adalah dampak yang terkait dengan matinya atau terganggunya perekonomian akibat luberan lumpur tersebut, seperti hilangnya mata pencaharian penduduk karena sawahnya terendam lumpur, hilangnya pekerjaan penduduk akibat pabriknya terendam, terganggunya aktivitas distribusi barang menuju kota Surabaya akibat jalan tol ditutup dan sebagainya.
Dampak intangible lumpur Lapindo adalah dampak yang sulit diperkirakan dan dihitung dan menyangkut aspek yang lebih luas (sosial dan politik, termasuk psikologi). Pemblokiran warga terhadap beberapa ruas jalan seperti sudah dikemukakan diatas adalah salah satu contohnya. Menurunnya image perusahaan, timnas, gubernur, bahkan presiden seperti diingatkan ketua PBNU ditambah rasa frustasi masyarakat yang bisa berujung pada kekacauan sosial juga contoh dampak intangible lainnya.
Di sini perlu dicermati apa benar Wilayah Perumtas I tidak masuk dalam wilayah yang direkomenasikan Timnas, kalau memang demikian adanya berarti Timnas kurang hati-hati dalam memperkirakan dampak langsung. Kelalaian Timnas tidak bisa dijadikan alasan perusaahaan untuk berkelit dari tanggung jawab memberikan ganti rugi terhadap korban karena bukti bahwa Wilayah Perumtas I terendam lumpur jelas kasat mata (empiris) dan tidak bisa dibantah lagi. Tuntutan ganti rugi yang sama dengan 4 warga desa yanga lain seperti disuarakan warga perumtas 1 adalah wajar dan harus dikabulkan pihak perusahaaan, karena wilayah mereka masih dalam kategori zona dampak langsung luberan lumpur Lapindo.
Penanganan bencana yang profesional semestinya memperhitungkan dampak tangible baik yang langsung maupun tidak langsung, bahkan harus mengantisipasi dampak intangible yang mungkin terjadi. Melihat penanganan bencana lumpur Lapindo yang dilakukan pihak perusahaan dan Timnas selama ini, apa pun kendalanya, masih jauh dari memadai. Jangankan mengantisipasi dampak intangible, dampak tangible langsung saja tidak ditangani secara serius. Indikasinya, Wilayah Perumtas 1 jelas masuk zona dampak langsung luberan lumpur, tetapi pihak Lapindo berkeras tidak mau memberikan ganti rugi dengan alasan seperti sudah disebutkan di atas.

Potensi menjadi Bola Liar
Kekerasan hati pihak perusahan, ditambah mandulnya ketegasan Timnas dan pemerintah daerah serta legislatif (DPRD Sidoarjo dan Jatim) dalam membuat keputusan, jelas-jelas mencederai rasa keadilan masyarakat. Ketidakpastian penyelesaian dan masa depan korban, membuat warga frustasi dan berujung pada tindakan yang tidak diperkirakan sebelumnya (intangible) berupa pemblokiran jalan-jalan utama seperti sudah diungkapkan di atas. Efek dominonya semakin menambah besar dampak kerugian tidak langsung dan kalau dibiarkan terus, seperti diingatkan ketua PBNU, satu fase lagi bisa terjadi kekacauan sosial (social chaos). Di sini berlaku rumus semakin dampak langsung tidak ditangai dengan baik dan profesional, maka dampak tidak langsung dan intangible akan semakin besar dan risiko terjadinya kekacauan sosial dan politik semakin besar pula.
Oleh karenanya semua pihak yang berkepentingan (stake holder) terhadap masalah ini harus sensitif dan secepatnya mengambil tindakan yang menjunjung rasa keadilan masyarakat, khususnya korban. Penanganan dampak lumpur baik yang tangible maupun intangible merupakan agenda paling utama. Karena ke depan masalah Lumpur Sidoarjo akan semakin berisiko mengingat akumulasi permasalahan baik dari sisi lingkungan, ekonomi, sosial maupun politik yang sudah memasuki tahap kritis dan indikasi menjadi bola liar mulai tampak dari aksi pemblokiran jalan kemarin. Semoga semua pihak yang berkepentingan mulai dari PT Lapindo Berantas, Timnas penanggulangan lumpur Sidoarjo, Pemkab Sidoarjo dan Pemprov Jatim, serta legislatif di daerah tersebut termasuk pemerintah pusat, sensitif dengan perkembangan terakhir ini dan secepatnnya mengambil tindakan, sebelum meledak menjadi kerusahan sosial yang tidak diinginkan semua pihak.

HUT KE-261 KOTA SOLO: KEMBALI KE KHITTAH




Tulisan ini merupakan respons penulis terhadap Visi Walikota Joko Widodo "Solo ke depan adalah Solo tempo dulu¨ (ditulis pada 15 Februari 2006)
Di hari jadinya yang ke-261 Kota Solo menyimpan banyak masalah. Maraknya permukiman liar dan kumuh di bantaran kali dan rel kereta api, penggunaan jalur pedestrian oleh pedagang kaki lima (PKL), tergusurnya ruang terbuka dan taman kota oleh pasar modern (mal), terbengkalainya bangunan-bangunan kuno yang bersejarah, semakin padatnya lalu lintas kota yang menimbulkan pencemaran udara, pencemaran kali-kali oleh industri yang menjadikan tubuh air hitam pekat dan bau, dan sederet permasalahan lain.
Collins dalam "America¡'s Downtown: Growth, Politics and Preservations" mensinyalir bahwa kebanyakan kota menghadapi permasalahan menurunnya kualitas lingkungan perkotaan (the decay of urban environment) yang ditandai kemacetan (congestion), polusi air dan udara (water and air pollution), menurunnya kualitas permukiman dan lahan yang diterlantarkan (deterioration and derelict land), serta hilangnya fungsi ruang terbuka (the disappearance of useful open space). Inilah fenomena yang terjadi di Kota Solo saat ini. Bila hal semacam ini dibiarkan bisa-bisa mengarah kepada penghancuran diri kota di masa depan. Bukannya menjadi city of tomorrow (kota masa depan) malah mejadi city of sorrow (kota kesedihan), dan metropolis akan menjadi miseropolis (kota yang menyengsarakan).
Tidak melulu masalah tentunya sederet prestasi juga ditorehkan Kota ini. Kota ini merupakan salah satu pioner pembangunan partisipatif melalui muskelbang (musyawarah kelurahan membangun), muscambang (musyawarah kecamatan membangun) dan muskotbang (musyawarah kota membangun) yang sudah berlangsung beberapa tahun. Kota ini juga langganan mendapat Wahana Nata Nugraha dari Dirjen Perhubungan Darat (tahun 2002, 2003, 2005 dan 2006), sebuah lambang supremasi kedisiplinan dalam berlalu lintas dan merupakan satu-satunya kota besar di pulau Jawa yang mendapatkannya. UPT Teknis Perijinan usaha yang memudahkan investasi juga dipuji oleh Ketua BKPM sebagai salah satu yang terbaik di negeri ini. Penataan PKL dengan menyediakan shelter khusus yang merupakan implementasi konsep ¨internalisasi eksternalitas¨ juga patut diapresiasi. Rencana memperlebar jalur pedestrian (city walk) di jalan Slamet Riyadi serta pembahasan Raperda Pengendalian Lingkungan mesti didukung dan secepatnya direalisasikan.
Pertanyaannya adalah bagaimana mengelola Kota Solo dengan segala keterbatasannya agar dinamika kota bisa mengakomodasi seluruh kepentingan stakeholder di satu sisi, di sisi lain lingkungan kota tidak mengalami kemunduran secara ekologis, sehingga fenomena di atas dapat ditekan seminimal mungkin. Atau dalam bahasa yang lebih sederhana bagaimana membangun tata lingkungan kota yang baik (good urban environmental governance) sehingga ada keseimbangan antara aspek ekonomi dan ekologi. Di sisi lain bagaimana membangun kota yang berkarakter, kota yang memiliki jati diri, dan kota yang menghargai warisan budayanya (cultural heritage), sehingga Kota Solo memiliki keunikan dan landmark tersendiri yang pada akhirnya bisa dibanggakan oleh warganya.

Sejarah dan Perkembangan Kota Solo
Kota Solo (resminya Surakarta) dibangun pada tahun 1745, dimulai dengan pembangunan Keraton Kasunanan sebagai ganti ibu kota Kerajaan Mataram di Kartasura yang hancur. Pada tahun 1742, pasukan Cina-Jawa di bawah pimpinan Sunan Kuning memberontak melawan kekuasaan Paku Buwono II yang bertakhta di Kartasura. Pasukan Madura dibawah pimpinan Cakraningrat IV juga turut memberontak (Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, 2000). Begitu hebatnya pemberontakan ini, Keraton Kartasura sampai hancur dan PB II menyingkir ke Ponorogo, Jawa Timur. Berkat bantuan VOC, pemberontakan dapat ditumpas dan Kartasura direbut kembali, tapi sudah hancur. Lantas dibangunlah keraton baru di Solo, 6 km ke arah selatan-timur dari Kartasura. Dan pada tanggal 17 Januari 1745 dilakukan pemindahan istana (boyong kedhaton) dari Kartusura menuju Solo. Peristiwa inilah yang menjadi momen historis yang diperingati tiap tahun sebagai HUT Kota Solo.
Keraton Kasunanan terletak dekat Bengawan Solo yang mengalir di sebelah timurnya, dan kota berkembang ke arah barat dan barat laut, di sekitar istana Mangkunegaran yang bagaikan suatu pusat tambahan, dan di sekitar taman besar Sriwedari. Struktur denah berkotak sebenarnya sudah disesuaikan dengan kedua anak Bengawan Solo, yang mengalir dari barat laut ke tenggara, yaitu Kali Pepe dan Kali Premulung, dan urat nadi kota adalah yang kini menjadi Jalan Slamet Riyadi yang merentang dari barat ke timur.
Seorang perwira Prancis yang mengunjungi Surakarta pada pertengahan abad 19 mencatat: Kota yang dikatakan dihuni 100.000 penduduk itu, sebenarnya tidak lain dari sekumpulan desa karena terdiri dari gugusan-gugusan rumah yang sepenuhnya dikelilingi oleh kebun-kebun.¨Saat ini Kota Solo tidak hijau lagi, dan penduduknya pada awal abad 21 meningkat 5 kali lipatnya sekitar 500.000-an. Dari keseluruhan luas kota (4.404 hektar), luas kawasan terbangun (built up areas) telah mencapai 88,47% atau 3.896 hektar. Meskipun demikian kota ini tetap mendapatkan predikat sebagai kota bersih dan hijau (clean and green city), sehingga mendapat trofi Bangun Praja (Good Environmental Governance) dari Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) pada tahun 2003.
Lahan di wilayah Kota Surakarta yang terbatas menyebabkan wilayah perkotaan berkembang ke wilayah administrasi tetangga (urban sprawl), yakni ke wilayah Sukoharjo, Karanganyar dan Boyolali. Berdasar studi Tim Proyek Pengembangan Program Kota Terpadu (P3KT), luas wilayah perkotaan Surakarta (Aglomerasi Perkotaan Solo) saat ini telah mencapai 11.000-12.000 hektar atau berkembang tiga kali lipat yang meliputi seluruh wilayah administrasi Kota Surakarta, sebagian wilayah Kabupaten Sukoharjo (Kecamatan Kartosuro, Grogol, Baki, dan Mojolaban) seluas 3.166 hektare, dan Kabupaten Karanganyar (Kecamatan Jaten dan Colomadu) seluas 1.143 hektare. Data itu merupakan hasil analisis pada tahun 1993, sehingga saat ini tentu sudah berkembang lebih luas lagi.

Visi ke Depan
Walikota Solo Joko Widodo dalam bincang pagi dengan para stakeholder di Hotel Quality dalam menyambut HUT ke-261 Kota Solo pada 17 Februari 2006 mengungkapkan statement yang menarik, "Solo ke depan adalah Solo tempo dulu¨. Blue print pengembangan dan pembangunan kota Solo baik yang bersifat fisik, nonfisik, sektoral, maupun keseluruhannya akan selalu mengacu pada jati diri dan potensi wilayah bersangkutan sebagai kota budaya. Kota budaya yang bertumpu pada perdagangan, jasa, pendidikan, pariwisata, dan olahraga, sesuai dengan Perda Nomor 10 Tahun 2001.
Solo bukanlah kota biasa. Solo merupakan kota empat zaman, yakni solo sebagai kota tradisional, kota kolonial, kota modern, dan menapak menuju kota internasional. Pada dua karakter yang pertamalah jati diri Solo berakar, sedangkan dua karakter yang terakhir adalah sifat keniscayaan dari pertumbuhan kota yang tidak bisa dielakkan oleh semua kota di mana pun di dunia. Dikotomi dua sifat itu tidak boleh dipertentangkan justru harus diintegrasikan dan disinergikan agar menghasilkan kemaslahatan sosial-ekonomi sebesar-besarnya bagi warganya.
Permasalahannya dua karakter pertama penangannya kurang cepat dan serius dibanding dua karakter berikutnya. Indikator paling mencolok adalah belum adanya rencana revitalisasi Benteng Vasternberg yang hanya berjarak ratusan meter dari balaikota. Memang sudah ada beberapa usaha revitalisasai cultural heritage seperti Alut dan Alkid Keraton Kasunanan, Kampung Batik Laweyan, dan beberapa simpul budaya yang lain termasuk diadakannya kirab budaya setiap memperingati HUT Kota Solo mulai beberapa tahun lalu, tetapi belumlah cukup. Di sisi lain pembangunan mal begitu cepat, dalam dua tahun lebih dari 5 mal didirikan belum termasuk business square yang lain.
Kota ini seolah memiliki "memori pendek¨, baru 7 tahun lalu luluh lantak oleh kerusuhan sosial, yakni pada tanggal 14 dan 15 Mei 1998 yang menelan korban jiwa 33 orang, 500 buah tempat usaha dan kerugian hampir setengah trilyun. Kota ini terlalu PD memacu pertumbuhan ekonomi "yang terlalu cepat¨ dan terkesan meminggirkan pemain lokal, sehingga ruang gerak ekonomi kerakyatan semakin sempit, dan ujungnya kesejahteraan sebagian masyarakat menurun. Padahal akar masalah kerusuhan salah satunya adalah himpitan ekonomi pada dataran akar rumput. Inilah yang perlu diperhatikan oleh pengambil kebijakan, disamping mengejar pertumbuhan perlu juga menjamin pemerataan dan akses ekonomi semua stakeholder.
Sebagai penutup, sudah saatnya Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) 1993-2013 ditinjau ulang, meskipun "ruh kota" seperti tertuang di dalam Dalam RUTRK tersebut bahwa Kota Solo ditetapkan dan ditegaskan menjadi kota pariwisata, budaya dan olah raga masih relevan dengan visi kota. Tetapi mengingat struktur ruang kota yang berubah secara signifikan, khususnya setelah reformasi 1998 dan perlunya internalisasi kaum marjinal dalam tata ruang kota seperti sudah diungkap penulis (Kompas, 18/10/2004), maka revisi RUTRK merupakan suatu kebutuhan yang mendesak untuk mengimbangi dinamika kota yang cepat agar tetap terkendali.

HARI DAN TAHUN BENCANA NASIONAL





Tulisan ini merupakan refleksi kekhawatiran penulis terhadap sikap kita sebagai bangsa yang mudah lupa meskipun bencana bertubi-tubi mendera kita.Kita selalu kehilangan momentum untuk berubah dan kembali kedodoran ketika bencana terjadi lagi. Penulis menggagas Tahun 2006 sebagai tahun bencana Nasional, dan tanggal 26 Desember sebagai hari bencana nasional. Alasan penetapan tahun dan hari tersebut selengkapnya silakan baca lebih lanjut (ditulis pada 20 Oktober 2006).

Hari Internasional Pengurangan Bencana (International Day for Disaster Reduction) yang diperingati setiap hari Rabu minggu kedua bulan Oktober, tahun ini jatuh pada tanggal 11 Oktober 2006. Hari Internasional Pengurangan Bencana (HIPB) 2006 mengangkat tema “Membangun Ketahanan Sekolah Terhadap Bencana”. Tema ini lahir dari harapan untuk mengurangi risiko bencana melalui pengenalan sejak dini tentang risiko-risiko bencana kepada siswa-siswa sekolah dan bagaimana membangun kesiapsiagaan bencana (disaster preparedness). 

HIPB ditetapkan oleh Sidang Umum PBB pada tanggal 22  Desember 1989 melalui resolusi 44/236. HIPB setiap tahunnya diamati selama Dekade Internasional Pengurangan Bencana Alam, mulai tahun 1990 -1999. Pada tahun 2001, Sidang Umum PBB memutuskan untuk mempertahanakan ritual (ceremony) HIPB melalui resolusi 56/195 tanggal 21 Desember, sebagai sarana untuk mempromosikan budaya global pengurangan bencana, meliputi pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan terhadap bencana.

Indonesia harus memperingati HIPB mengingat bencana besar terjadi susul-menyusul mulai tahun 2002 dan mencapai klimaknya tahun 2006. Mulai dari tenggelamnya Ibukota Jakarta pada tahun 2002, banjir bandang bohorok (2003), Tsunami Aceh (2004), Tsunami Nias (2005), dan rentetan bencana besar pada tahun 2006. Awal tahun 2006 dibuka dengan 2 bencana besar yaitu banjir bandang di Kabupaten Jember dan longsor di Banjarnegara (Januari), berikutnya banjir yang menenggelamkan Pantai Utara Pulau Jawa (Februari), banjir bandang yang memporak-porandakan Kota Trenggalek (April), Gempa Yogya (Mei), erupsi Gunung Merapi dan banjir bandang Sinjai (Juni), gempa dan Tsunami Pengandaran (Juli), sampai dengan  semburan lumpur panas Sidoarjo dan kebakaran hutan.

Apalagi sebagai bangsa kita seperti kewalahan menangani bencana-bencana tersebut. Pola penanganan bencana baik di tingkat pusat maupun di daerah dan kota masih belum jelas. Indikasinya adalah status suatu bencana apakah masuk kategori bencana daerah atau bencana nasional sering menjadi perdebatan, anggaran bencana yang habis, tarik-menarik kewenangan penanganan bencana, buruknya koordinasi antar sektor dan lambatnya penangan bencana masih selalu terjadi. Penanganan bencana pun masih sebatas tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi, sementara pengurangan risiko bencana melalui upaya pencegahan, mitigasi, dan kesiapsiagaan masih sangat kurang.

Kita bahkan belum memiliki Undang-Undang Penanganan Bencana dan Badan Mitigasi Nasional. Pembahasan RUU Penanganan Bencana yang digulirkan DPR mulai tahun 2005 pun berlarut-larut dan selalu dikalahkan dengan pembahasan RUU yang lain. Momentum selalu hilang dan  kita sepertinya tidak pernah mau belajar. Bencana yang terjadi belum cukup signifikan mendorong sebuah upaya besar untuk mengatasinya secara permanen. Sungguh ironis kita terantuk pada batu yang sama berkali-kali, karena krisis tidak pernah dimaknai sebagai peluang untuk berubah.

Memang pemerintah memanfaatkan momentum bencana gempa bumi dan tsunami Aceh dengan menerbitkan Perpres No 83 Tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Nasional (Bakornas) Penanganan Bencana (PB) menggantikan Keppres No 3 Tahun 2001 jo 111/2001 tentang Bakornas Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (PBP). Kebijakan tersebut dimaksudkan untuk merevitalisasi Bakornas PB yang semula berfungsi sebatas sebagai badan kooordinasi berubah menjadi badan koordinasi dan operasional. Permasalahannya meski Perpres sudah terbit dan ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sejak 29 Desember 2005, revitalisasi hanya menjadi "macan kertas". Kegagapan pemerintah dalam menghadapi bencana terus terulang.

Untuk memecah kebuntuan tersebut, salah satunya adalah dengan cara menetapakan Hari dan Tahun Bencana Nasional (HTBN) sebagai sarana untuk membangun kesadaran bersama bahwa bencana yang sama tidak boleh terulang lagi. Sekaligus sebagai momentum perubahan paradigma PB, yang meliputi semua jenis ancaman bencana (multihazards); meliputi keseluruhan aspek bidang kerja PB (comprehensive) dan melibatkan semua pihak (integrated) dengan titik berat pada pengurangan risiko dan kesiapsiagaan bencana. Seperti PBB menetapan HIPB sebelum mencanangkan Dekade Internasional Pengurangan Bencana Alam (International Decade for Natural Disaster Reduction /IDNDR), kita juga perlu mencanangkan HTBN sebagai momentum perubahan PB.

Sebelumnya pada tahun 2005, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penanganan Bencana yang terdiri dari berbagai NGO Nasional, akademisi, organisasi kemasyarakatan, tokoh masyarakat dan NGO internasional di Indonesia, menghimbau Bapak Presiden untuk mencanangkan hari pengurangan risiko bencana setiap hari Rabu minggu kedua bulan Oktober, sesuai dengan ketetapan PBB di atas sebagai momentum untuk pendidikan publik dan perbaikan sistem pengurangan risiko bencana. Himbauan tersebut menggarisbawahi kenyataan bahwa masyarakat Indonesia sungguh hidup dengan berbagai ancaman bencana; sementara Negara dan Pemerintah Indonesia masih jauh dari memenuhi secara memadai mandat konstitusional ”...untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia ...” (Pembukaan UUD 1945 Alinea IV); Di sisi lain kemiskinan yang semakin bertambah, membuat masyarakat kita semakin rentan terhadap dampak bencana.

Melalui forum ini penulis mengusulkan Tahun 2006 sebagai Tahun Bencana Nasional (TBN), sedangkan Tanggal 26 Desember setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Bencana Nasional. Tahun 2006 diusulkan sebagai TBN dengan pertimbangan seluruh tipe bencana yang paling sering terjadi, paling mematikan, paling merusak rumah, paling berdampak luas, dan paling merugikan terjadi secara simultan pada tahun tersebut. Data historis bencana (EM-DAT: The OFDA/CRED International Disaster Database) selama 1 abad (1907-2006), mencatat 3 bencana yang paling sering terjadi (45 - 105 kali) yaitu banjir, gempabumi dan gunung meletus. Tiga besar bencana yang paling mematikan (8000 – 165.708 jiwa) yaitu tsunami, gempabumi, dan letusan gunungapi, sedangkan 3 bencana yang paling merusak rumah (202.405 – 979.700 buah) yaitu gempabumi, tsunami, dan banjir. Bencana yang paling berpengaruh luas (4.894.220 – 5.860.001 jiwa) yaitu banjir, gempa, dan kekeringan, sedangkan bencana yang paling merugikan (3.937 – 17.235 milyar dolar) yaitu kebakaran hutan, tsunami, dan gempabumi.

Sementara tanggal 26 Desember diusulkan sebagai hari bencana nasional dengan pertimbangan pada tanggal tersebut terjadi bencana yang paling mematikan dalam sejarah bencana di Indonesia yaitu Tsunami Aceh pada tahun 2004 yang menewaskan 165.708 Jiwa. Tsunami Aceh bahkan tercatat sebagai gelombang Tsunami yang paling mematikan di dunia. Akhirnya semoga kita termasuk bangsa yang bisa belajar dari sejarah bencana, bukan bangsa bebal yang selalu kehilangan momentum.

KONDISI KERENTANAN MAKSIMUM




TULISAN ini  mengajak pemerintah untuk secepatnya mengalihkan fokus penangan bencana dari modifikasi bahaya semburan lumpur yang terbukti "gagal" beralih ke modifikasi kerentanan, karena risiko bencana  yang lebih besar sudah di depan mata.  Relokasi  penduduk, infrastruktur penting (jalan tol, jalan arteri porong, rel ka, pipa gas pertamina, pipa  pdam)  sudah harus secepatnya dilakukan. Semoga menggugah pihak yang disentil dalam tulisan ini (ditulis pada 3 April 2007).

Judul di atas merupakan himbauan terhadap pemerintah untuk secepatnya mengambil tindakan mengurangi risiko bencana semburan lumpur Sidoarjo dengan mengubah fokus penanganan dari menangani bahaya semburan lumpur yang terbukti “gagal”, beralih menangai kerentanan manusia dan membagi kerugian secara adil. Perkembangan terakhir baik dari sisi sosial-ekonomi maupun lingkungan menempatkan korban pada khususnya dan masyarakat jawa timur pada umumnya, infrastruktur penting (jalan arteri, rel kereta api, pipa PDAM, pipa gas pertamina) pada kondisi kerentanan maksimum (a state of maximum vulnerability).   

 

Satu Fase Lagi Terjadi Malapetaka

            Mengapa modifikasi kerentanan saat ini jauh lebih penting dibanding modifikasi bahaya ? Karena di satu sisi, sifat bahaya luapan lumpur baik primer maupun sekunder sulit dikendalikan atau bahkan tak terkontrol sama  sekali, sama seperti sifat bahaya erupsi gunungapi (khususnya awan panas) atau tsunami yang tidak bisa dikendalikan. Terbukti 4 skenario penghentian semburan lumpur (bahaya primer) mulai dari snubbing unit, sidetracking, relief well dan insersi bola beton belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Penanganan lumpur di permukaan dengan sistem pananggulan juga tidak mudah, berkali-kali terjadi luberan (overtopping), rembesan maupun tanggul jebol dan kondisi kolam penampungan saat ini sudah penuh. Belum lagi ancaman bahaya sekunder berupa amblesan tanah (land subsidence) yang di luar kendali manusia.

Di sisi lain penanganan kerentanan juga sangat lambat, mulai dari status bencana yang belum jelas, tidak ada anggaran di APBN 2007 untuk penanganan semburan lumpur, belum dipindahaknnya infrastruktur penting yang sudah terpengaruh aktivitas semburan lumpur seperti jalan tol yang sudah ditutup, pipa gas pertamina yang sudah meledak dan menewaskan sejumlah orang dan meskipun sudah dipindah, tetapi sekarang terancam lagi karena masih dalam jarak jangkau luberan lumpur, pipa PDAM yang sering pecah karena amblesan, begitu juga rel kereta api yang sering melengkung karena amblesan bahkan sekarang terendam lumpur, serta jalan arteri porong yang sebagian jalurnya juga sudah terendam lumpur dan ditutup. Korban memang sudah diungsikan dan mendapat uang untuk pemondokan serta jatah makanan, tetapi penyelesaian ganti rugi tidak jelas realisasinya dan bahkan untuk warga Perumtas I, pihak Lapindo bersikeras untuk tidak mau memberi ganti rugi tunai (cash and carry), mereka ditawari relokai plus yang ditolak warga dengan rentetan aksi demontrasi. Dengan demikian kondisi sosial ekonomi masyarakat sudah sangat rentan dan ambang batas kerusakan sudah hampir terlampaui, sehingga terjadinya malapetaka hanya tinggal waktu.

Bencana merupakan interaksi dimanis antara aspek bahaya dan kerentanan. Bencana terjadi saat gejala geofisik (atmosferik, hidrologik, geologik,  biologik) maupun man made (teknologik) melampaui kapasistas sosial-ekonomi dan fisiologi penduduk untuk memantulkan (to reflect), menyerap (to absorp) atau menyangga (to buffer) dampaknya. Melihat  kondisi di atas baik dari sisi ancaman bahaya baik primer (semburan lumpur) maupun sekunder (amblesan tanah) yang semakin besar, maupun toleransi sosial ekonomi yang sudah di ambang batas untuk memantulkan, menyerap dan menyangga dampak luberan lumpur maka risiko bencana sangat besar dan malapetaka sudah di depan mata jika tidak segera dilakukan  penangan secara cepat dan benar.

 

Penyesuaian terhadap Bencana

Untuk menyesuaikan diri dengan potensi bencana menurut White dan Hass dalam Assessment of research on natural hazards (1975), ada 3 hal yang bisa dilakukan yaitu modifikasi kejadian (modify the event),  modifikasi kerentanan manusia (modify human vulnerability), dan membagi kerugian (distribute the losses). Kalau kita mencermati upaya pemerintah lewat Timnas Penanggulangan Semburan Lumpur Sidoarjo selama ini,  maka ketiga jenis modifikasi sudah dilakukan tetapi tidak satu pun yang menunjukan hasil yang optimal. Modifikasi kejadian merupakan hal yang paling dominan dilakukan oleh Timnas dibanding 2 modifikasi yang lainnya. Modifikasi kajadian berupa 4 skenario penghentian lumpur boleh dikatakan “gagal”. Modifikasi kerentanan berupa penanggulan juga sudah mencapai tahap kritis karena kolam penampungan sudah penuh  dan tanggul sering jebol. Penanganan dampak sosial-ekonomi juga “tidak beres”, seperti tercermin dari penanganan kerugian yang tidak adil dan tidak jelas realisasinya bahkan sekarang cenderung menjadi bola liar yang mengarah menjadi chaos, seperti tercermin dari rentetan demonstrasi, penutupan jalur arteri dan rel kereta api, pembentukan pansus lumpur Sidoarjo oleh DPRD Jawa Timur, dan bahkan kalau pemerintah pusat tidak bertindah cepat bisa menjadi masalah politik yang serius karena pemerintah bisa “divonis” tidak bisa melindungi warganya dari bencana sesuai amanat Undang-Undang Dasar. Kurangnya optimalnya langkah penanganan oleh Pemerintah menjadikan korban dan masyarakat Jawa Timur, serta infrastruktur penting  pada kondisi kerentanan maksimum. 

Kerentanan total (Total Vulnerability = TV) seperti dirumuskan Alexander dalam Natural Disaster (1993) adalah tindakan yang meningkatkan risiko (Risk Amplification Measures = RAM) dikurangi upaya peredaman risiko (risk mitigation measures = RMM) plus-minus faktor persepsi terhadap risiko (Risk Perception Factors = RPF), atau  dalam bahasa matematik ditulis : TV = RAM – RMM ± RPF. Tindakan yang meningkatkan risiko seperti upaya modifikasi kerentanan berupa penanggulan lumpur dalam volume sangat besar di atas  100.000 m3 per hari sudah tidak mampu lagi ditampung oleh kolam penampungan yang disediakan, padahal pembuatan kanal untuk membuang lumpur ke sungai porong dan selanjutnya dibuang ke laut juga belum berhasil. Akibatnya kejadian luberan lumpur (overtopping) melampaui tanggul atau jebolnya tanggul pengaman menjadi masalah laten yang berulang-kali terjadi, kasus terakhir tenggelamnya rel kereta api dan jalan porong. Upaya peredaman risiko seperti yang dilakukan Timnas berupa modifikasi kejadian berupa 4 skenario seperti sudah disebut di atas juga “tidak berhasil”. Lebih parah lagi, persepsi pemerintah terhadap risiko juga tidak tepat, tercermin dari lambannya pemerintah menetapkan status bencana serta  tidak adanya alokasi anggaran untuk penanganan bencana lumpur dalam APBN 2007.

Di sini pemerintah terjebak pada logika menunggu status bencana jelas dulu, sehingga siapa yang bertanggung jawab juga menjadi jelas, apakah pihak Lapindo atau pemerintah. Logika seperti ini semestinya tidak dilakukan pemerintah karena tugas pemerintah adalah melindungi segenap warganya termasuk dari ancaman bencana, mengingat di lapangan bencana betul-betul sudah menyengsarakan rakyat dan dampak bencana juga membahayakan perekonomian jawa timur. Masalah tanggung jawab pihak Lapindo jika terbukti bersalah bisa diurus belakangan setelah penanganan bencana di lapangan dilakukan.  Oleh karenanya, debat berkepanjangan mengenai penyebab luapan lumpur apakah man made disaster (kesalahan prosedur pengeboran), gejala alam (mud volcano), atau gabungan keduanya sudah saatnya dihentikan, biarlah itu menjadi urusan pihak penyidik.

Melihat kondisi kerentanan yang sudah mencapai tahap maksimum dan dampak sosial ekonomi yang sangat besar, langkah yang harus secepatnya dilakukan pemerintah adalah mengambil terobosan kebijakan dengan secepatnya menetapkan semburan lumpur Sidoarjo sebagai bencana nasional dan menyiapkan dana talangan untuk menangani bencana tersebut dengan lebih memfokuskan penanganan kerentanan dibandingkan penanganan bahaya yang terbukti “gagal”.  Pemerintah secepatnya merelokasi penduduk dan infrastruktur penting pada jarak yang aman, sebelum terlambat dan menjadi malapetaka besar.

BERKACA PADA GUNUNG MERAPI : REFLEKSI LETUSAN KELUD




Tulisan dengan judul ”BERKACA PADA GUNUNG MERAPI” mencoba melihat fenomena meningkatnya aktivitas G. Kelud secara lebih proporsional dengan membandingkannya dengan letusan di G. Merapi. Berbeda dengan letusan G. Merapi yang mendapat sorotan luas, ”letusan G. Kelud” jauh dari pemberitaan ramai. Padahal dari sisi bencana, letusan G. Kelud lebih dahsyat, karena setiap terjadi letusan, selalu terjadi bencana. Tidak demikian halnya dengan letusan G. Merapi. Memang aspek bahaya cenderung menurun dengan berhasil dikendalikannya lahar letusan melalui rekayasa terowongan, tetapi seperti di kebanyakan gunungapi lain, aspek kerentanan bencana justru meningkat. Kalau tidak ditangani secara bijak, maka bencana sudah didepan mata (ditulis pada 7 Oktober 2007).


Lebih Dahsyat

Selama abad 20, Gunung Kelud meletus 5 kali yaitu pada tahun 1901, 1919, 1951, 1966, dan 1990. Setiap kali terjadi letusan selalu terjadi bencana. Sementara pada abad yang sama, Gunung Merapi meletus 23 kali, kurang lebih sepertiganya (8 kali) menimbulkan bencana. Sisanya merupakan letusan kecil yang tidak sampai menjangkau permukiman penduduk, sehingga tidak sampai menimbulkan korban jiwa.  Sebagai perbandingan akan dilihat letusan terbesar pada abad 20, yang terjadi di 2 gunungapi tersebut.

Letusan tahun 1919 menimbulkan bencana terbesar di G. Kelud. Saat itu 5.160 jiwa menjadi korban, 104 desa rusak berat, 20.200 bau (5.050 hektar) sawah, tegal, pekarangan dan perkebunan rusak, serta 1.571 ekor binatang mati. Sementara di G. Merapi, letusan 1930 merupakan letusan terbesar, memakan korban 1.369 jiwa, 13 kampung hancur, 23 kampung rusak sebagian, 1.109 rumah hancur, dan 2140 ternak mati. Kalau dibandingkan, meskipun G. Kelud lebih jarang meletus dibandingkan G. Merapi, tetapi bencana yang ditimbulkannya lebih dahsyat. Pertanyaannya apakah letusan G. Kelud lebih berbahaya dibanding dengan letusan di G. Merapi, sehingga setiap kali terjadi letusan selalu terjadi bencana? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu dilihat aspek bahaya letusan dan kerentanan penduduk di 2 kawasan gunungapi tersebut.

Bahaya Cenderung Menurun

          Aspek bahaya sebuah gunungapi tercermin dari besarnya letusan, biasanya dinyatakan dengan Indeks Letusan Gunungapi  (Volcanic Explosivity Index), disingkat VEI. Nilai VEI didasarkan pada volume total produk erupsi, ketinggian awan letusan, dan besarnya energi yang dikeluarkan (Newhall, et al., 1982). Indeks Letusan Gunungapi  memiliki skala 0-8, semakin tinggi skala berarti semakin besar letusannya. Mayoritas letusan G. Merapi pada abad 20, memiliki nilai VEI 2, sementara letusan G. Kelud kebanyakan memiliki nilai VEI 4. Dengan demikian letusan di G. Kelud lebih besar dibandingkan letusan di G. Merapi atau dengan kata lain letusan G. Kelud lebih berbahaya dibandingkan letusan G. Merapi. 

Bahaya primer di G. Merapi yang paling ditakuti adalah awan panas dan masyarakat setempat menamakannya wedhus gembel karena saat menuruni lereng, awan panas tampak seperti arak-arakan wedhus gembel. Sementara bahaya primer di G. Kelud yang paling ditakutkan adalah lahar letusan. Lahar letusan terbentuk karena di puncak G. Kelud terdapat danau kawah dengan volume air puluhan juta m3. Lahar letusan pada tahun 1919 berakibat sangat fatal seperti sudah dideskripsikan di atas. Sebelum letusan, volume air danau kawah saat itu mencapai 40 juta m3, air sejumlah itu terlempar keluar kawah pada saat letusan. Aliran lahar yang merupakan campuran dari air panas, lumpur, pasir, dan batu-batuan memasuki kota Blitar menciptakan kehancuran yang hebat. Kecepatan lahar yang mengalir di kota Blitar sekitar 65 km/jam. Jarak maksimum aliran lahar primer mencapai 37,5 km dari puncak.

Bencana letusan 1919 memberikan pelajaran bagi pemerintah saat itu untuk mengurangi volume air yang ada di danau kawah. Mulai tahun 1920 dibangun terowongan pembuangan air kawah menuju arah Barat, untuk mengalirkan air danau kawah ke Kali Badak. Dengan adanya terowongan tersebut, volume air tersisa di danau kawah hanya sebesar 1,8 juta m3. Pengendalian volume air danau kawah ternyata mampu meredam terjadinya lahar letusan, seperti terbukti pada letusan 1951 dan 1990.  Dengan demikian ancaman paling menakutkan sudah dapat dikendalikan. Ancaman lain yang perlu mendapat perhatian adalah endapan freatik dan freatomagmatik yang lembab dan basah. Endapan tersebut dapat mengakibatkan runtuhnya atap bangunan. Kejadian seperti ini menjadi penyebab tewasnya 32 orang yang berlindung di dalam gudang sebuah pabrik kopi dalam radius 10 km dari puncak pada letusan 1990. Ancaman lainnya adalah awan panas yang bisa mencapai radius 5 – 10 km dari puncak.

 Kerentanan Penduduk Meningkat

          Setelah memahami aspek ancaman bahaya perlu dikaji pula aspek kerentanan penduduk di lereng gunungapi tersebut, karena bencana hanya terjadi saat kerentanan penduduk meningkat.  Penelitian penulis di G. Merapi menemukan paradoks bahwa meskipun ancaman bahaya menurun ditandai besar letusan yang semakin menurun dari abad 19 sampai dengan abad 20, tetapi anehnya bencana semakin sering terjadi.

Pada abad 19 dengan letusan yang lebih besar, bencana terjadi 4 kali, sebaliknya pada abad 20 meskipun letusannya lebih kecil ternyata bencana yang terjadi 2 kali lipatnya (8 kali). Dengan demikian bukan ancaman bahaya G. Merapi yang meningkat, tetapi penduduk semakin rentan terhadap bencana. Penduduk semakin rentan karena penduduk yang menghuni Kawasan Rawan Bencana (KRB) semakin banyak, bahkan tingkat pertumbuhan penduduk di lereng atas lebih besar dibanding lereng bawahnya. Disamping itu ada permukiman yang hanya berjarak 3 km dari puncak. Bagaimana dengan kondisi kerentanan penduduk di lereng G. Kelud? Apakah meningkat pula ?

          Pemkab Blitar mencatat, ada sekitar 251.630 jiwa, yang berdomisili di KRB G. Kelud. Jumlah penduduk tersebut belum termasuk penduduk Kota Blitar yang dulu juga terpengaruh letusan 1919. Padahal jumlah seluruh penduduk kab. Blitar baik di KRB maupun di luar KRB pada tahun 1917 sebanyak 349.000 jiwa (Encyclopedie van Nederlandsch-Indie, Surya, 4-10-07). Artinya tingkat pertumbuhan penduduk di KRB sangat tinggi. Dengan demikian tingkat kerentanan penduduk juga meningkat dan bila tidak ditangani secara bijak, bencana sudah di depan mata.  Apalagi ada fakta sejarah bahwa bencana selalu terjadi saat G. Kelud meletus.

          Sayangnya masyarakat di KRB masih diperlakukan sebagai obyek dalam manajemen bencana, bukan sebagai subyek yang diberdayakan seperti tercermin dari simulasi evakuasi yang khusus dilakukan untuk petugas dari pemda. Dan lebih tragis lagi Pemkab Kendiri masih menggunakan paradigma lama penanganan bencana, tercermin dari dana bencana hanya bisa turun kalau bencana sudah terjadi. Padahal seperti diamanatkan UU No. 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana pasal 8 ayat 4, pemerintah daerah berkewajiban untuk mengalokasian dana penanggulangan bencana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) secara memadai, sehingga penanganan bencana mulai dari sebelum, saat dan sesudah kejadian bisa berjalan dengan baik, tidak seperti sekarang, kedodoran.

          Dari sejarah letusan, Kab. Kediri paling berisiko terhadap letusan G. Kelud dibanding Kab. Kediri dan Malang. Saat ini yang perlu mendapat perhatian adalah penduduk pada Ring 2 yang terletak pada radius 5 sampai 7 kilometer dari puncak,sebanyak 90.642 jiwa, tersebar di 3 Kecamatan, meliputi Kec. Nglegok, Garum, dan Gandusari (belum termasuk Kab. Kediri). Wilayah ini masuk dalam zone paling rawan karena jika G. Kelud meletus, zone tersebut akan terkena langsung endapan letusan freatik dan freatomagmatik, awan panas, batu dan abu. Mereka harus diberdayakan bukan dijadikan obyek penanggulangan bencana. Dan pendekatan manajemen risko bencana berbasis masyarakat harus dikedepankan. 

CLEAN AND GREEN CITY




Tulisan  ini merupakan bentuk apresiasi penulis kepada seluruh stakeholder kota yang telah berjuang dengan penuh semangat membawa Surabaya menjadi Clean and Green City. Dimulai dari sejarah kota ini yang pernah dikepung sampah pada tahun 2001 sampai dengan banjir penghargaan di bidang pengelolaan lingkungan mulai dari Adipura, Kalpataru, Adiwiyata, sampai dengan Award dari PBB. Semoga ke depan berbekal kesuksesan mengelola sampah dan Ruang Terbuka Hijau dengan metode kemitraan dan partisipasi, kota ini akan berhasil pula dalam mengelola masalah lingkungan yang lain (ditulis 5 september 2007).

Lingkungan Menurun

Kota Surabaya tidak lepas dari sinyalemen Collin dalam  America’s Downtowns: Growth, Politics and Preservation” bahwa kebanyakan kota menghadapi permasalahan menurunnya kualitas  lingkungan perkotaan (the decay of the urban environment) seperti kemacetan (congestion), polusi air dan udara (water and air pollution), menurunnya kualitas permukiman dan lahan yang diterlantarkan (deterioration of housing and derelict land) serta hilangnya fungsi ruang terbuka (the disappearance of useful open space). Setiap hari Jalan Ahmad Yani, misalnya, dipadati kendaraan yang meluncur ke tengah kota pada pagi hari dan sebaliknya di sore hari. Selama Tahun 2006 hanya 26 hari masyarakat kota ini menikmati udara baik, sebagian besar (334 hari) kondisi udara sedang, dan 5 hari kondisi udara tidak sehat. Kualitas air tak kalah buruknya, dari 331 sampel air sumur yang diambil pemkot, 231 sampel (69%) di antaranya belum memenuhi baku mutu air. Belum masalah banjir yang setiap musim hujan selalu terjadi.

Fenomena rumah kumuh (slums) pada daerah bantaran kali, bantaran rel kereta api, serta maraknya penggunaan jalur pedestrian dan ruang publik untuk tempat usaha Pedagang Kali Lima (PKL) juga terjadi. Begitu juga beberapa bangunan kuno bersejarah di beberapa sudut kota terlantar. Hingga akhir 2006 Surabaya hanya memiliki 269,13 hektar Ruang Terbuka Hijau (RTH) atau sekitar 0,8 persen dari luas kota. ”Politik Sampah” pada tahun 2001 bahkan mewarnai roda pemerintahan kota ini yang berujung pada penggantian wali kota.

Saat itu sampah menumpuk sampai tiga minggu di seluruh bagian wilayah Kota Surabaya. Apa pasal? Warga sekitar menutup Lokasi Pembuangan Akhir (LPA) Sampah Keputih yang jadi muara sampah kota. Sementara penggantinya, LPA Benowo, masih dalam tahap penggarapan. Akibatnya, bau menyengat ke mana-mana. Padahal saat itu setiap hari rata-rata Kota Surabaya menghasilkan  8.800 meter kubik sampah, sekitar 70 persennya adalah sampah organik yang menjadi sumber bau menyengat tersebut. Jadi, dalam tiga minggu yang membuat warga marah, tak kurang dari 168.000 meter kubik atau 42.000 ton sampah yang tak terangkut ke LPA. Sampah yang menumpuk ternyata dapat menggerakkan warga menyerang wali kotanya. Kemarahan warga ditanggapi oleh DPRD Surabaya yang berujung dengan penggantian walikota.

 

Banyak Pujian

Belajar dari kesalahan pendahulunya, walikota baru sangat memperhatikan pengelolaan lingkungan khususnya masalah sampah dan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Kota ini mulai tahun 2002 sudah memiliki peraturan daerah (perda) tentang pengelolaan ruang terbuka hijau (Perda No. 7 Tahun 2002). Pada tahun yang sama kota ini juga menjalin kerjasama dengan Kota Kitakyushu, sebuah kota di Jepang yang berhasil merubah dirinya dari grey city menjadi green city dan menjadi inspirasi dunia dalam hal pengelolaan lingkungan kota. Kemitraan dengan dunia usaha (PT Unilever) dan masyarakat pun digelar khususnya program penghijaun dan pengelolaan sampah rumah tangga secara mandiri. Mulai tahun 2005 program kemitraan tersebut menggunakan slogan Surabaya Green & Clean (SGC).

Kerja keras pemkot bersama seluruh warga kota selama 5 tahun akhirnya membuahkan hasil mulai tahun 2006 dengan diterimanya kembali Adipura. Kota Surabaya di usia ke-714, kembali mendapat Kado Istimewa di Bidang Kebersihan dan Lingkungan Hidup tersebut yakni Adipura 2007 untuk kategori Kota Metropolitan. Selain Adipura, salah satu warga kota yang bernama Sudarno,ST juga meraih penghargaan Kalpataru untuk katagori Pengabdi Lingkungan.  Penghargaan di bidang lingkungan yang diterima semakin lengkap karena SD Kristen Santa Theresia juga meraih Penghargaan Adiwiyata untuk kategori sekolah yang berwawasan lingkungan.

Tidak hanya pemerintah pusat yang salut terhadap kebersihan dan pengelolaan lingkungan Kota Surabaya sehingga membuahkan piala Adipura. Dunia juga angkat topi atas kerja keras warga Kota Surabaya. Organisasi dunia bidang lingkungan PBB menganugerahi award of excellent bidang pengelolaan lingkungan.
Surabaya memang tidak sebersih Singapura. Namun semangat untuk menjadi kota yang bersih dan nyaman dengan melibatkan partisipasi masyarakat, dinilai tidak ada yang menandingi. Singapura sendiri belum mampu mencontoh hingar-bingarnya partisipasi yang membuahkan penghargaan PBB bidang lingkungan untuk Asia Pasific itu. Hanya sebuah kota kecil di Thailand (Nonthaburi City) yang sanggup menyamai Surabaya sehingga mendapat penghargaan serupa.

 

Kemitraan dan Partisipasi

Kemitraan dan partisipasi seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) kota dalam mengelola sampah dan lingkungan menjadi lebih hijau mulai dari masyarakat, pemkot, dunia usaha, pers, LSM, akademisi,  dan kerja sama internasional khususnya dengan KITA (Kitakyushu International Techno-Cooperative Association) merupakan kunci kemenangan Kota Surabaya. Peran masyarakat terlihat dari pengelolaan sampah mandiri yang telah menjadi demam di sudut-sudut kota. Saat ini di setiap kampung, para pemuda dan ibu-ibu rumah tangga berlomba menjadi yang terbaik dalam mengelola sampah. Kampung yang semakin sedikit menyetor sampah ke Lokasi Pembuangan Akhir (LPA) dan mampu menyulap sampah menjadi sebanyak mungkin uang adalah impian. Pola pengelolaan sampah yang bersumber dari rumah tangga dipilah berdasarkan jenisnya, kemudian diolah di sebuah zona modulasi melalui kegiatan pengomposan (komposting) atau kegiatan daur ulang lainnya, telah menjadi gerakan yang masif.

Peran akademisi juga sangat menonjol, diantaranya Pusat Pemberdayaan Komunitas Perkotaan (Pusdakota) Universitas Surabaya. Pusdakota bertanggung jawab dalam proses penelitian, konstruksi, konsultasi, advokasi dan pelatihan pengelolaan kompos sampah. Peran lembaga internasional juga penting, KITA Japan terlibat dan bertanggung jawab dalam pendanaan, proses penelitian, dan konsultasi teknologi. Peran Pemkot khususnya Dinas Kebersihan adalah mendanai pembangunan lokasi yang akan dijadikan tempat untuk mengelola sampah dan menyediakan sumber daya manusia yang nantinya akan menjadi pengelola. Sementara peran swasta dan pers (diantaranya Unilever, Jawa Pos dan Radar Surabaya) membantu publikasi dan menyediakan hadiah lomba, sebagai bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility).

 “Inilah mungkin yang dihargai, gerakan bersama mengelola sampah,” seperti dikatakan Risma, Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya. Dalam 5 tahun kemitraan strategis tersebut telah menghasilkan beberapa solusi lingkungan, salah satunya adalah volume sampah kota Surabaya berkurang. Tahun 2004 volume sampah mencapai 264.000 meter kubik per bulan, pada tahun 2005 menjadi 261.000 meter kubik, tahun 2006 volume sampah tinggal 161.000 meter kubik per bulan. Surabaya berhasil mengelola sampah dari hulu (rumah tangga) yang berakibat pengurangan  sampai di hilir (LPA). Begitu juga paradigma masyarakat terhadap sampah juga mulai berubah, sampah bukan hanya barang buangan yang tidak berharga, justru sebaliknya sampah bisa menjadi berkah dan bernilai secara ekonomis. Pasca penghargaan PBB, Surabaya bakal menjadi rujukan studi banding komposting sampah dari Asia Pasific. Belum lama berselang tim Pansus RUU Sampah DPR pun melakukan studi banding di kota ini.

Surabaya bisa menjadi inspirasi kota lain yang masih bermasalah dengan pengelolaan sampah dan RTH. Meskipun demikian Surabaya jangan puas dulu karena tantangan di bidang lingkungan masih banyak, seperti bagaimana mengelola limbah cair, mengendalikan banjir, mengurangi pencemaran udara, mengurangi kemacetan, mengelola sektor informal, dan revitalisasi bangunan kuno agar lingkungan kota Surabaya menjadi semakin baik. Ke depannya diharapkan Surabaya bisa lepas dari sinyalemen Collins seperti disebut di awal tulisan ini yakni lingkungan kota cenderung akan menurun. Justru sebaliknya Surabaya bisa mentransformasi dirinya menjadi clean and green city seperti Kota Kitakyushu di Japan.