16 Februari 2009

Wawancara Pak Setya dan Pak Yasin oleh Media Indoneisa Awal Musim Hujan Lalu

Jum'at, 07 November 2008 14:30 WIB
Banjir masih Terus Mengintai Solo
Reporter : Ferdinand
SOLO--MI: Warga Solo, Jawa Tengah, diimbau untuk meningkatkan kewaspadaan terkait hujan deras yang mulai sering mengguyur kawasan itu dalam beberapa pekan terakhir, karena banjir bisa terjadi setiap saat.
Peneliti pada Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (LPPM) Universitas Sebelas Maret Solo Setyo Nugraha mengungkapkan hal itu saat ditemui di ruang humas kampus tersebut, Jumat (7/11).
"Apalagi kalau curah hujan di daerah hulu terjadi ketebalan ekstrim. Seperti akhir 2007 lalu misalnya, yang mencapai 150 milimeter per jam," jelasnya.
Potensi terjadinya banjir tersebut, lanjut Setyo, terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun seiring dengan semakin menurunnya kemampuan fisik daerah aliran sungai (DAS). Sehingga daya dukung untuk menampung air menjadi berkurang.
Lebih parah lagi, ujarnya, ketebalan tanah di daerah hulu, khususnya di wilayah sekitar Waduk Gajah Mungkur, Wonogiri, saat ini turun drastis akibat erosi. Hal tersebut memicu terjadinya peningkatan sedimen besar-besaran pada waduk serba guna itu.
Akibatnya, ketika curah hujan tinggi, waduk tidak lagi memiliki kemampuan menampung air secara maksimal. Sehingga air dari hujan akan langsung mengalir ke daerah hilir melalui aliran Bengawan Solo.
"Nah, kalau tinggi muka air Bengawan Solo lebih tinggi dari sungai-sungai kecil yang ada di Kota Solo, sudah bisa dipastikan akan terjadi genangan," tambah Yasin Yusup, rekan Setyo yang saat ini sedang melakukan studi mitigasi bencana di Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Karena, ujarnya, air dari sungai-sungai kecil itu tidak bisa dibuang ke Bengawan, malah sebaliknya berbalik arah masuk kota.
Memang, kata Yasin, pemerintah daerah sudah membuat sejumlah pintu air. Tapi ketika elevasi Bengawan sangat tinggi, pintu-pintu tersebut tidak akan bisa dibuka. Demikian pula dengan pemasangan beberapa pompa di sejumlah titik, dinilai tidak cukup efektif, karena meski bisa difungsikan,kapasitasnya sangat terbatas.
Ditanya mengenai upaya penanggulangan dengan cara membuat cek dam dan sudetan di sejumlah titik, Setyo yang beberapa waktu lalu pernah melakukan penelitian secara khusus pada sungai terpanjang di Pulau Jawa itu mengatakan langkah tersebut cukup efisien untuk jangka panjang.
Tetapi, untuk jangka pendek Setyo tidak bisa memastikan. Sebab, untuk mengatasi banjir prinsipnya adalah mengubah aliran permukaan menjadi aliran dalam. Hal itu, ujarnya, tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat.
"Jadi, dalam beberapa tahun mendatang banjir masih akan terus mengintai Solo. Apalagi kalau sampai terjadi lanina, bisa jadi dampaknya akan lebih besar jika dibandingkan dengan akhir 2007," tandasnya. (FR/OL-01)

09 Februari 2009

PERDAGANGAN RISIKO UNTUK PENGELOLAAN BANJIR ANTARDAERAH

Tulisan ini dimuat di harian Solopos, Selasa, 3 Februari 2009...
Pola penangan yang dibutuhkan adalah pola penanganan terpadu meliputi seluruh Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan upaya mitigasi yang lebih luas (tidak hanya mitigasi struktural) dan melibatkan seluruh stakeholder (Pemkot, Proyek Bengawan Solo, Jasa Tirta, Dephut, Perhutani, PDAM , dunia usaha, dan masyarakat). Di sini masih timbul masalah karena meskipun sudah sejak lama ada wacana kerjasama antardaerah kabupaten/kota di Solo Raya yang dahulu sering disebut Subosukowonosraten (Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Wonogiri, Sragen, dan Klaten) dalam pengelolaan pembangunan dan tata ruang, termasuk pengelolaan banjir, implementasinya “masih buntu”. Dengan demikian perlu ada terobosan untuk memecah “kebuntuan” tersebut.

Penulis menawarkan penerapan sistem perdagangan risiko bencana dalam pengelolaan banjir antar-daerah (risk trading in trans-boundary flood management) yang dikembangkan Chang (2008). Chang (2008) memperkenalkan sebuah pasar mitigasi banjir (flood mitigation market) dengan transaksi surat ijin mitigasi banjir yang diperdagangkan (Tradeable Flood Mitigation Permit atau disingkat TFMP). TFMP menawarkan perspektif baru untuk kolaborasi antardaerah dengan menyediakan sarana untuk saling tukar sumberdaya antara daerah hulu dengan daerah hilir. TFMP ditujukan untuk melengkapi persetujuan kerjasama antar daerah yang sudah ada atau lembaga yang sudah berjalan, dan bukan menggantikannya. Pertimbangannya adalah TFMP sangat erat kaitannya dengan pengelolaan banjir (flood management) dan perencanaan tata ruang (spatial planning).

Aktivitas pemanfaatan lahan di kawasan hulu DAS akan berpengaruh baik menguntungkan maupun merugikan daerah hilir terkait dengan pengurangan maupun peningkatan risiko banjir (flood risk reduction or risk amplification). Pembangunan waduk di daerah hulu, akan mengurangi risiko banjir di daerah hilir, sebaliknya penambahan daerah terbangun (urbanisasi) di daerah hulu akan meningkatkan risiko banjir daerah hilir. Pada kasus pertama, daerah hilir membayar daerah hulu, sebaliknya pada kasus kedua daerah hilir menerima pembayaran dari daerah hulu. Konsep timbal balik perdagangan risiko menggunakan prinsip internalisasi eksternalitas (internalising externalities) menggunakan sarana finansial langsung (direct financial).

Secara mudahnya, jika Kota Solo ingin bebas dari banjir, maka Kota Solo bisa meminta daerah hulu (misal Karanganyar, Klaten atau Boyolali) untuk membangun waduk, situ, mempertahankan atau menambah kawasan lindung dan penyangganya, untuk mengurangi risiko banjir di Kota Solo, dengan cara membayar sejumlah uang tertentu. Dalam konsep perdagangan risiko, tidak berarti pihak hilir selalu menjadi pihak yang membayar atas aktivitas pemanfaatan lahan di hulu, namun pihak hilir juga berhak menuntut hak apabila aktivitas di hulu merugikan pihak di hilir.

Peningkatan daerah terbangun di hulu (khususnya di kawasan lindung dan penyangga) dapat meningkatkan risiko banjir di hilir. Hal ini terkait dengan berkurangnya daerah resapan, sehingga ketika terjadi hujan yang besar, akan semakin banyak air yang dikirimkan ke daerah bawah. Akibatnya, kemungkinan kerugian banjir semakin besar. Penggunaan kawasan lindung dan penyangga menjadi area terbangun merupakan bentuk penyimpangan yang dapat menjadi dasar tuntutkan oleh pihak hilir.

Perdagangan risiko bisa menjadi pemercepat direalisasikannya pembangunan infrastruktur pengendalian banjir karena dimungkinkan tersedianya anggaran (karena adanya insentif) di satu sisi. Di sisi lain, bisa menjadi instrumen pengendalian tata ruang, karena daerah hulu akan lebih berhati-hati dalam memanfaatkan ruang agar tidak dituntut membayar ganti rugi (disinsentif). Pada akhirnya, daerah hulu cenderung untuk memilih pemanfaatan lahan yang sesuai dengan peruntukannya yaitu kawasan lindung dan penyangga karena akan mendapat insentif. Dengan demikian keserasian tata ruang dan pengelolaan banjir dapat seiring sejalan.

02 Februari 2009

POLA BANJIR KOTA SOLO

Kota Solo kembali kebanjiran, meskipun tidak sebesar banjir tahun sebelumnya (akhir Desember 2007), tetapi sebaran banjir lebih merata. Banjir tidak hanya melanda kota bagian timur sepanjang Bengawan Solo, tetapi juga melanda kota bagian barat di dekat Kali Sumber, Kali Pepe hulu, dan Kali Premulung, bahkan Kalianyar pun kebanjiran. Walikota Solo juga sempat heran, “Ini memang di luar perkiraan. Beberapa daerah yang tahun kemarin tidak kebanjiran sekarang kok malah kebanjiran, seperti di daerah Pajang dan Bumi di Laweyan,” kata Joko Widodo, seperti diberitakan Kompas (1/02/2009). Pertanyaannya adalah bagaimana sebetulnya pola banjir di Kota Solo?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu dipahami lebih dulu setting Kota Solo terkait dengan proses terjadinya banjir. Kota Solo dari sudut pandang geomorfologi, merupakan daerah cekungan yang terletak diantara pegunungan dan perbukitan atau sering disebut intermountain basin. Di Sebelah barat ada Gunung Merbabu dan Merapi, sebelah selatan ada Pegunungan Selatan, sebelah timur ada G. Lawu, dan sebelah utara ada perbukitan Kendeng. Karena merupakan daerah cekungan, maka ketika terjadi hujan di daerah pegunungan dan perbukitan tersebut, khususnya pada lereng yang menghadap ke Kota Solo, maka sebagian air hujan akan dialirkan menuju Kota Solo melalui sungai-sungai yang berhilir di Kota Solo. Kali Pepe misalnya, memiliki hulu di G. Merbabu dan Perbukitan Kendeng (Boyolali), sementara Kali Premulung yang melewati daerah Pajang dan Bumi berhulu di Lereng Kaki G. Merapi (Sukoharjo).

Banjir Desember 2007 disebabkan hujan ekstrem (> 100 mm per hari) yang terjadi di Pegunungan Selatan (Wonogiri) dan G. Lawu (Karanganyar), lalu dialirkan melalui Bengawan Solo menuju Kota Solo, kemudian terkonsentrasi di Kota sebelah timur, sementara hujan di G. Merbabu dan Merapi (Boyolali dan Klaten) tidak besar, sehingga tidak menimbulkan banjir di Kota sebelah barat. Banjir saat ini (akhir Januari 2009) lebih merata di seluruh bagian kota karena hujan yang terjadi juga merata. Baik di Boyolali Sukoharjo, dan Karanganyar, terjadi hujan yang cukup lebat, dalam durasi yang cukup lama, meskipun intensitasnya tidak sebesar tahun lalu. Hujan ini kemudian dialirkan melalui Kali Pepe, Kali Premulung, dan Bengawan Solo menuju Kota Solo. Inilah yang menjelaskan mengapa daerah Pajang dan Bumi ikut banjir tahun ini, padahal tahun sebelumnya tidak.

Pola banjir seperti yang terjadi tahun ini (akhir Januari 2009), sebetulnya pernah terjadi juga pada tahun 1993. Banjir pada saat itu disebabkan oleh luapan Bengawan Solo yang diikuti pula dengan back water aliran sungai yang masuk Bengawan Solo. Daerah genangan banjir Februari 1993 yaitu sepanjang Kali Premulung, Kali Jenes, Kali Pepe Hilir, serta sekitar Kali Pepe Hulu, Kali Sumber, dan Kalianyar, sama seperti yang terjadi saat ini. Sebelumnya, pada tahun 1982 juga terjadi banjir yang mirip dengan banjir saat ini. Banjir yang terjadi pada Bulan Januari 1982 tersebut merupakan banjir terbesar yang pernah terjadi setelah pembangunan Waduk Gadjah Mungkur di Wonogiri. Menurut Proyek Bengawan Solo, debit banjir waktu itu diperkirakan 1.100 m3/detik di Jurug, setara dengan periode ulang 30 tahun.

Dari pola banjir tersebut bisa dipahami bahwa banjir yang terjadi di Kota Solo tidak identik dengan banjir Kiriman dari Wonogiri, tetapi juga bisa disebabkan oleh air kiriman dari daerah Boyolali, Klaten, atau Karanganyar, sehingga meskipun Waduk Gadjahmungkur sudah dibuat, banjir tetap bisa terjadi. Dengan pola banjir tersebut, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana membebaskan Kota Solo dari banjir?