23 Maret 2009

Wawancara Kompas dengan Penulis dan Yusuf Muttaqin


Dari KITLV, banjir Solo tahun 30 an, di sekitar Pasar Kliwon

Banjir, Peran Alih Fungsi Lahan dan Perubahan Iklim Meningkat

Kamis, 26 Februari 2009 | 20:41 WIB
Laporan wartawan Sri Rejeki

SOLO, KAMIS — Perubahan penggunaan lahan (unplanned urbanization) di daerah hilir dan hulu Sungai Bengawan Solo menyebabkan kapasitas sungai dan anak Sungai Bengawan Solo semakin kecil. Ini karena air hujan langsung masuk ke sungai membawa sedimentasi mengurangi kemampuan daya tampung air. Tidak sampai sebulan, terjadi tiga kali banjir di Kota Solo.
Ini diungkapkan Yasin Yusuf dari Bidang Pencegahan, Mitigasi, Kesiapsiagaan Pusat Studi Bencana Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Kamis (26/2).
Hal serupa diungkapkan Pengajar Teknik Sipil Fakultas Teknik UNS Solo Yusuf Muttaqin. Kawasan yang seharusnya menjadi resapan berubah menjadi permukiman atau daerah industri, baik di hilir maupun di hulu. Untuk Kota Solo, kondisi ini diperburuk dengan jaringan drainase yang fungsinya sangat menurun, kata Yusuf.
Banjir menggenangi lima kelurahan di Kecamatan Banjarsari yang berada di wilayah utara Solo. Menurut Yasin, Kota Solo yang terletak di antara perbukitan dan pegunungan atau intermountain basin secara alamiah rawan banjir.
Sebenarnya pendiri Solo dulu sudah punya mitigasi yang baik, yakni membuat semacam banjir kanal untuk Kali Pepe dan Kali Premulung dan membangun tanggul yang melingkari Kota Solo. Dengan terjadinya perubahan penggunaan lahan baik di Solo maupun di hulu kedua kali itu, kemampuan pengendali banjirnya berkurang, kata Yasin.
Keduanya juga menyebutkan pengaruh perubahan cuaca yang menyebabkan hujan yang biasanya sejak pertengahan Februari sudah sangat berkurang, kini justru turun dengan intensitas tinggi.

15 Maret 2009

Liputan Banjir Solopos

Edisi : Sabtu, 28 Februari 2009 , Hal.1
Banjir, Solo utara butuh cekdam
Solo (Espos) Banjir Solo utara bisa diatasi jika di kawasan itu dibangun cekdam untuk mengatur aliran air dari kawasan utara Solo sebelum masuk ke Kota Solo.
Walikota Solo, Joko Widodo (Jokowi), ketika dihubungi Espos, Jumat (27/2) malam, mengatakan Solo utara butuh cekdam, agar aliran air dari wilayah utara Solo seperti Boyolali tidak langsung mengalir ke Solo. ”Tapi sekali lagi, butuh koordinasi lintas wilayah. Ini wewenangnya provinsi. Karena cekdam itu ditempatkan di Boyolali,” jelasnya.
Jokowi mengatakan selain cekdam, Kali Kijing, Boyolali yang terhubung dengan Kali Pepe Hulu, Solo utara, juga perlu dibangun sudetan yang menghubungkan ke Waduk Cengklik Boyolali.
Jokowi menyebut banjir, Rabu (25/2) malam, di Solo utara bagian barat disebabkan oleh air kiriman dari Boyolali. Air hujan yang turun di Boyolali mengalir ke Kali Pepe Hulu lalu Kali Anyar kemudian langsung ke Solo hingga sampai ke Sungai Bengawan Solo.
Dengan demikian, praktis Waduk Cengklik tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai penampung air.
”Saya sendiri juga heran. Solo bagian timur dan selatan sudah ada solusi permanen. Dengan perbaikan parapet, pintu air dan pemberian pompa, kemudian warga di bantaran direlokasi, tidak perlu lagi khawatir dengan banjir. Lha sekarang kok giliran Solo bagian barat dan utara,” kata Jokowi ketika ditemui Kamis (26/2) malam.
Terpisah, Kepala Bakorwil II Surakarta dan Kedu, A Antono, ditemui di kantornya, Jumat, mengatakan sudah melakukan komunikasi dengan semua kabupaten/kota terkait banjir di Soloraya. Antono juga mendorong perlunya penyempurnaan rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) secara terpadu antardaerah.
Sementara itu, akademisi UNS menilai efek meningkatnya curah hujan dan tren perubahan tata guna lahan kawasan permukiman, menjadi salah satu penyebab banjir di Solo utara. Akademisi UNS menilai pemerintah perlu segera merevitalisasi daerah aliran sungai (DAS) Kali Pepe Hulu, termasuk di antaranya membangun talut.
Langkah proteksi itu, disebut paling vital, mengingat banjir bandang tersebut membuat setidaknya dua hingga tiga meter tanah bantaran tergerus.
Dosen Prodi Pendidikan Geografi FKIP UNS Solo yang aktif dalam Bidang Pencegahan, Mitigasi dan Kesiapsiagaan, Pusat Studi Bencana UNS, Yasin Yusuf, menuturkan mitigasi dalam hal proteksi atau perlindungan paling dibutuhkan saat ini. ”Perubahan tata guna lahan sulit ditangani dalam waktu singkat, butuh koordinasi lintas wilayah dan lintas sektoral. Mitigasi proteksi, salah satunya dengan pembuatan talut di sepanjang Kali Pepe Hulu,” papar Yasin Yusuf, didampingi ahli lingkungan Prodi Pendidikan Geografi FKIP UNS, Setya Nugraha.
Disinggung mengenai perubahan tata guna lahan, berdasarkan penelitian melalui citra satelit, Yasin menyebut Kota Solo sangat kekurangan lahan resapan. Pasalnya, total luas Kota Bengawan hanya 10,57% atau 465,52 hektare (ha) yang berfungsi efektif sebagai lahan resapan. Sementara itu, luas lahan permukiman mencapai 81,10% atau 3.938,54 ha.

Resapan
”Padahal, idealnya lahan resapan untuk sebuah wilayah paling tidak 30%.”
Lebih jauh, terkait tingginya curah hujan, dia menerangkan curah hujan terus mengalami peningkatan sejak tahun 2007. Yasin membandingkan, sebelumnya curah hujan pada bulan basah hanya mencapai kurang dari 100 milimeter (mm)/bulan, sedangkan kini curah hujan meningkat hingga lebih dari 100 mm/hari. Dosen Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik UNS, Yusuf Mutaqin, mengatakan penanganan banjir paling mendesak adalah perbaikan infrastruktur drainase, termasuk penguatan talut Kali Pepe Hulu karena beban sistem drainase meningkat.

Sementara itu, banjir Rabu lalu, ternyata tidak hanya melanda Solo utara, banjir juga mengenai 40 keluarga di Kelurahan Gandekan, Jebres. Meskipun ketinggian airnya hanya sampai mata kaki, air luapan dari Kali Pepe itu sempat masuk ke puluhan rumah, bahkan merendam taman cerdas di kelurahan itu.
Hal itu diungkapkan Ketua LPMK Gandekan, YF Soekasno. Menurut dia, banjir di Gandekan disebabkan air Kali Pepe meluap.
Sementara itu, sebanyak 10 SD dari 84 SD/MI/SDLB dan tujuh TK dari 84 TK di Banjarsari mengalami kerusakan akibat banjir Rabu lalu. Sekolah yang rusak itu antara lain, SD Kristen Setabelan 2, SDN Banyuanyar 1, SDN Banyuanyar 2, SDN Banyuanyar 3, SDN Banyuagung 1, SDN Banyuagung 2, SDN Banyuagung 3, SDN Tempel, SDN Sumber 5 dan SDN Praon. Sementara TK yang rusak antara lain, TK Trisula Banyuanyar, TK Aisyiyah Sumber 2, TK Aisyiyah Banyuanyar 2, TK Al Abidin, TK ABA Thoyibah, TK LPMK Banyuanyar, TK Pustaka Ridho.
”Jumlah total kerugian belum dapat disampaikan,” terang Kepala UPTD Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Dikpora) Kecamatan Banjarsari, Drs Alexander Parjiya MM MPd. Dia menyampaikan SD dengan kerusakan terparah yaitu SDN Tempel antara lain 15 unit komputer, buku anak, administrasi guru, tape dan wearless, televisi, alat peraga, sekitar 1.500 buku perpustakaan serta persediaan seragam anak merah putih 50 setel dan seragam Pramuka 50 setel. Sedangkan TK dengan kerusakan terparah yaitu TK Al Abidin yang di antaranya sembilan unit komputer rusak dan alat permainan. Adapun untuk sekolah yang sudah menyertakan besarnya kerugian yaitu SDN Banyuagung 2 senilai Rp 112 juta, SDN Banyuanyar 3 senilai Rp 46 juta dan SDN Banyuanyar 2 senilai 18,725 juta.
Dijelaskan dia, banyak guru dan murid yang menjadi korban banjir. Rencananya, Sabtu (28/2) ini, SE pengumpulan bantuan akan dibagikan.

Permasalahan Solo utara

* Kawasan Solo utara yang relatif luas berkontur dan berbukit sehingga debit dan kecepatan aliran tinggi padahal saluran ke Kali Anyar baik jumlah maupun kapasitasnya sangat terbatas.
* Perkembangan perumahan-perumahan baru terutama oleh developer tidak diikuti dengan penataan drainase yang memadai.
* Pada daerah-daerah bekas persawahan, pada awalnya saluran drainase yang ada merupakan saluran irigasi. Perubahan fungsi ini tidak diikuti dengan perubahan desain saluran.
* Perubahan bentuk kontur untuk pengembangan permukiman sebagian telah merubah arah aliran yang berdampak kesenjangan antara rencana penataan drainase dengan kenyataan.
* Sebagian saluran yang ada masih saluran alam padahal lahan yang semula kosong telah berubah menjadi permukiman yang padat.
* Sebagian saluran masih berfungsi campuran (mixed used) untuk drainase dan irigasi.
Sumber: Bappeda & DPU Solo
Penanganan banjir
* Perlindungan/proteksi berupa pembangunan talut untuk penguatan sungai mengingat meningkatnya volume air, perubahan bentuk sungai
* Penyusutan air DAS hulu hingga hilir berupa koordinasi/kerja sama lintas wilayah, sektoral dan steakholders
* Penyesuaian diri berupa intervensi pemerintah kabupaten/kota terhadap pengaturan tata guna lahan menyusul ditemukannya pembangunan permukiman menantang arah aliran air, kesadaran masyarakat
* Pembuatan sudetan atau saluran dari Kali Anyar ke Wadung Cengklik, Boyolali *
Keterangan *: Usulan Walikota

Sumber: Wawancara Walikota & dosen Pendidikan Geografi FKIP UNS - Oleh : Suharsih, Tika SA, Tri R, Rini Y, Nadhiroh

Liputan Solopos untuk Olimpiade Geografi HIMAGO

Edisi : Jum'at, 06 Maret 2009 , Hal.XII
SIG dinilai bangun kecerdasan murid
Solo (Espos) Untuk membangun kecerdasan spasial siswa di Sekolah Menengah Atas (SMA), cara termudah adalah dengan memanfaatkan Sistem Informasi Geografi (SIG). Salah satu Pembicara Seminar Meningkatkan Kecerdasan Spasial Melalui Pembelajaran Geografi di SMA, Yasin Yusuf SSi MSi pada makalahnya yang berjudul Bagaimana Membangun Kecerdasan Spasial Siswa di Sekolah Menengah Atas? menyampaikan ada beberapa alasan diperlukannya SIG dalam pembelajaran di sekolah.
”Kebutuhan pembelajaran SIG di sekolah dilandasi argumen bahwa SIG meningkatkan kecakapan berpikir siswa. SIG menawarkan siswa kesempatan untuk mengeksplorasi lingkungan mereka sendiri menggunakan teknologi informasi baru,” ujar Yasin, Kamis (5/2), di Gedung FKIP Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo.
Yasin juga memaparkan alasan-alasan lain terkait diperlukannya SIG dalam pembelajaran geografi di sekolah. Yaitu dengan SIG memungkinkan siswa untuk melakukan pencarian, visualisasi dan mengelola basis data keruangan, siswa dapat mengajukan pertanyaan, mengurutkan dan bahkan membuat peta baru.
Lebih lanjut, Yasin menyampaikan, pembelajaran SIG memungkinkan penggunaan strategi pembelajaran berbasis penyelidikan dan mempromosikan berpikir kritis. Secara khusus, imbuh dia, SIG dapat membantu meningkatkan kemampuan untuk menganalisis dan mengevaluasi informasi geografi.
”SIG dengan kecerdasan keruangan mencakup kemampuan membaca peta, kemampuan untuk mentransformasi kehidupan nyata ke dalam mental atau gambar visual,” kata Yasin.
131 Peserta
Ditemui terpisah, Ketua Panitia Olimpiade Geografi SMA dan sederajat tingkat Provinsi Jateng, Subekti menyampaikan, ada 131 peserta yang mengikuti Olimpiade Geografi dari 37 SMA dan yang sederajat, Kamis kemarin di Student Center (SC) UNS.
Dia menuturkan, pada kegiatan yang diselenggarakan Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMP) Geografi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UNS itu ada tiga babak.
Yaitu, babak pertama tes kemampuan dasar dan dicari 15 terbaik, babak II praktikum dipilih enam terbaik dan pada babak III cerdas cermat untuk menentukan juara I-III dan juara harapan I-III.
”Dalam rangka Dies Natalis Ke-33 UNS, HMP Geografi mengadakan seminar dan Olimpiade Geografi. Kami baru kali ini mengadakan Olimpiade Geografi dan rencananya ke depan akan dijadikan kegiatan rutin,” terang Subekti.
Dia menyampaikan, tujuan Olimpiade Geografi yaitu mempertajam kemampuan spasial siswa. Sebab, kata dia, yang terjadi di sekolah, kemampuan spasial siswa masih kurang karena masih lebih pada tataran teori. - Oleh : nad

01 Maret 2009

MITIGASI BANJIR KOTA SOLO

Kota Solo kembali kebanjiran (Banjir pertengahan Februari), belum genap sebulan setelah banjir akhir Januari lalu. Banjir kali ini lebih terkonsentrasi di kota sebelah timur, mirip dengan banjir akhir desember 2007 lalu, meskipun tidak sebesar banjir tersebut. Daerah yang tergenang meliputi daerah di sekitar hilir Kali Wingko (Joyotakan), Kali Pepe Hilir (Sewu), Kali Boro (Jagalan), dan Bantaran Bengawan Solo (Semanggi, Sangkrah, Sewu, dan Pucangsawit). Banjir disebabkan oleh naiknya air Bengawan Solo karena air kiriman dari daerah Klaten dan Wonogiri, yang diikuti penutupan pintu air di Demangan, Plalan, dan Putat, untuk menghindari aliran balik (back water) Bengawan Solo menuju kota. Penutupan pintu air menghambat laju air dari dalam kota menuju Bengawan Solo, sehingga terjadi penumpukan air di dekat pintu air, sementara laju pemompaan air belum cukup mengimbangi debit air yang masuk, sehingga terjadilah genangan banjir di hilir anak Bengawan Solo tersebut. Pola banjir seperti inilah yang paling sering terjadi di Kota Solo. Pertanyaannya adalah mengapa “banjir besar” semakin sering terjadi di Kota Solo?
Untuk menjawab pertanyaaan tersebut, perlu dilihat kerentanan Kota Solo terhadap banjir. Dilihat dari aspek kerentanan, Kota Solo memiliki tingkat kerentanan terhadap banjir yang semakin meningkat. Meningkatnya kerentanan tidak terlepas dari perkembangan kota sendiri yang tidak terencana (unplanned urbanization). Hal ini bisa dilihat dari semakin dominannya penggunaan lahan perkotaan (urban landuse) di satu sisi; di sisi lain menyempitnya ruang terbuka (open space); dan menurunnya kemampuan saluran drainase untuk mengalirkan aliran permukaan karena minimnya perawatan, sedimentasi yang besar termasuk menumpuknya sampah, serta dihuninya bantaran kali.
Dari analisis penggunaan lahan melalui citra satelit (Budi Setiyarso, 2008), diketahui bahwa penggunaan lahan perkotaan seperti permukiman, perdagangan, industri, dan jasa mencakup 81.10% luas kota (3938.54 ha). Sedangkan penggunaan lahan perdesaan (rural landuse) seperti sawah, tegalan, taman kota, lapangan, lahan kosong, termasuk kuburan hanya meliputi 10.57% lahan kota (465.52 ha). Komposisi lahan yang didominasi lahan perkotaan menjadikan sebagian besar air hujan menjadi aliran permukaan dan sebagian kecil lainnya menjadi air tanah.
Hujan yang menyebabkan banjir akhir Januari 2009 lalu disebut Balai Besar Wilyah Sungai (BBWS) Bengawan Solo, memiliki ketebalan 130 mm, dengan asumsi 50% air hujan menjadi aliran permukaan, maka akan ada 2,8 juta m3 air yang harus dialirkan sistem drainase kota menuju Bengawan Solo. Saat air bengawan naik, sebagian air ini akan tertahan di pintu-pintu air di dekat bengawan, ditambah dengan air kiriman dari daerah belakang (hinterland) Kota Solo seperti Boyolali, Klaten, dan Sukoharjo, volume air yang tertahan semakin besar. Air inilah yang sebagian dipompa menuju bengawan dan sebagian lagi menjadi banjir yang menggenangi wilayah kota bagian timur seperti disebut di atas.
Sebagai dampak perubahan iklim global (global climate change), hujan dengan intensitas tinggi (> 100 mm per hari) semakin sering terjadi. Akibatnya bila hujan tersebut jatuh di atas Kota Solo dan daerah hinterlandnya dengan kondisi penggunaan lahan di atas, banjir tidak terelakkan lagi terjadi. Kota Solo saat ini seperti disinyalir Alexander (1990) berada pada kondisi kerentanan maksimal (a state of maximum vulnerability). Kondisi ini dipicu oleh tindakan manusia yang meningkatkan risiko banjir (risk amplification measures), tanpa diimbangi tindakan untuk mengurangi risiko banjir (risk mitigation measures) yang cukup berarti, sehingga wajar bila banjir lebih mudah terjadi.
Banjir besar berturut-turut mulai banjir februari 2007, banjir desember 2007, sampai dengan banjir kedua di tahun 2009 ini, menyadarkan kita bahwa pada dasarnya Kota Solo rawan banjir. Sebagai daerah yang berada pada cekungan antar pegunungan dan perbukitan (intermountain basin), Kota Solo memang rawan banjir (lihat tulisan penulis di Solopos, 3/2/2009). Paku Buwana (PB) II sadar betul akan hal ini, sehingga saat memindahkan Kraton Mataram dari bumi Kartasura ke Desa Sala, sebagai cikal bakal Kota Solo, 264 tahun lalu, prioritas rekayasa lingkungan terkait banjir diutamakan. Bentuk adaptasi banjir mulai dari yang sederhana sampai yang canggih sudah dibuat (Budi Setiyarso, 2008), bahkan kita masih bisa merasakannya hingga saat ini.
Tindakan adaptasi banjir yang lumayan canggih untuk zamannya dilakukan oleh PB III yaitu dengan dipindahnya Bengawan Solo ke timur Semanggi, untuk mengurangi risiko banjir Kraton Kasunanan. PB III juga melakukan pengurugan/reklamasi daerah berawa dan berelevasi rendah yang berpeluang menjadi genangan di kota bagian timur. Setelah kejadian banjir tahun 1892 yang menggenangi Keraton Kasunanan pada masa Paku Buwono X dan Mangkunegara VI, dibangunlah 2 buah banjir kanal. Banjir Kanal Kali Anyar dan Kali Tanggul dibangun untuk mengalihkan air dalam jumlah besar, masuk kota dari arah utara dan selatan. Saat itu juga dibangun 2 sistem tanggul (tanggul Kali Anyar dan Bengawan Solo), untuk menahan luapan banjir 2 kali tersebut. Dam Gemunggung dan pintu air Tirtonadi juga dibangun untuk penggelontoran Kali Pepe pada musim kemarau, sedangkan pada saat hujan pintu air Tirtonadi ditutup. Terakhir dibangun pintu air Demangan di pertemuan Kali Pepe Hilir dan Bengawan Solo untuk menangkal aliran balik Bengawan Solo menuju Kali Pepe hilir. Pada masa Mangkunegara VII dibangunlah Waduk Cengklik (Boyolali) untuk pengendalian banjir dan saluran irigasi di Solo Utara. Gambaran di atas mengunjukkan betapa canggihnya bentuk adaptasi banjir di Kota Solo pada jaman kerajaan dulu.
Setelah masa kemerdekaan, pembangunan perlindungan banjir kurang begitu nampak, hingga terjadi banjir besar pada tahun 1966. Peristiwa tersebut mendorong pemerintah membuat kebijakan penanggulangan banjir bernama Proyek Penanggulangan Bencana Alam. Proyek ini masih berjalan hingga saat ini, hanya berubah nama menjadi BBWS Bengawan Solo. Salah satu proyek besar yang dihasilkan badan ini adalah pembangunan Waduk Gajah Mungkur, Pelurusan Bengawan Solo dan Tanggul Luar Bengawan Solo sekitar tahun 1980. Penanganan banjir selanjutnya tidak terlalu menonjol.
Respon terhadap banjir yang dilakukan pihak kerajaan, lebih fokus di Kota Solo, sementara yang dilakukan BBWS Bengawan Solo mencakup pula penanganan daerah hulu sungai (hinterland Kota Solo) untuk menangani banjir kiriman, khususnya yang berasal dari Pegunungan Selatan, sementara banjir kiriman dari Pegunungan Barat (G. Merapi dan Merbabu) dan Timur (G. Lawu) belum tertangani sampai saat ini. Sebetulnya respon terhadap banjir seperti dinyatakan Ward (1978) meliputi 3 hal, pertama protection (perlindungan); kedua, adjustment (penyesuaian), dan ketiga, abatement (penyusutan).
Protection merupakan mitigasi banjir struktural dalam bentuk merekayasa sungai yaitu pembuatan talud, tanggul, normalisasi sungai, bendungan dan banjir kanal. Bentuk mitigasi banjir inilah yang paling sering dilakukan oleh pihak kerajaan maupun BBWS Bengawan Solo, tetapi karena aspek perawatan kurang, sehingga beberapa tanggul yang sudah tua usianya di beberapa titik jebol, dan mengakibatkan banjir masuk ke permukiman warga seperti di Joyotakan. Bentuk Adjustment merupakan mitigasi non struktural, khususnya terkait dengan tindakan manusia yaitu tanggap darurat (emergency response), penahanan banjir (flood proofing), pengaturan penggunaan lahan dan kebijakan keuangan. Bentuk mitigasi kedua ini sangat kurang dilakukan, apalagi masyarakat terlena dengan bentuk proteksi yang ada dan merasa aman dari banjir, bahkan sebagian masyarakat “nekad” membangun permukiman di flood way atau jalannya banjir, sehingga begitu banjir, otomatis mereka terkena dampaknya. Merekalah yang sekarang menjadi subyek relokasi.
Sedangkan abatement adalah pengendalian banjir sebelum masuk sungai atau pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS), baik dalam bentuk penghutanan kembali maupun kebijakan pengendalian urbanisasi. Mengingat pola banjir di Kota Solo, selain dipengarui banjir lokal, juga dipengaruhi banjir kiriman, maka konsep abatement yang merupakan tindakan lintas daerah, harus segera direalisasikan, dan kerjasama antardaerah mau tidak mau harus dilakukan. Untuk merealisasikan konsep tersebut, gagasan penulis mengenai perdagangan risiko untuk pengelolaan banjir lintas daerah (risk trading in trans-boundary flood management), lihat Solopos, 3/2/2009, bisa menjadi alternatif pemecahannya. Saatnya bagi Pemkot Kota Solo untuk mengambil peran yang signifikan, seperti sudah dilakukan pendahulunya.