Kota Solo kembali kebanjiran, meskipun tidak sebesar banjir tahun sebelumnya (akhir Desember 2007), tetapi sebaran banjir lebih merata. Banjir tidak hanya melanda
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu dipahami lebih dulu setting Kota Solo terkait dengan proses terjadinya banjir. Kota Solo dari sudut pandang geomorfologi, merupakan daerah cekungan yang terletak diantara pegunungan dan perbukitan atau sering disebut intermountain basin. Di Sebelah barat ada Gunung Merbabu dan Merapi, sebelah selatan ada Pegunungan Selatan, sebelah timur ada G. Lawu, dan sebelah utara ada perbukitan Kendeng. Karena merupakan daerah cekungan, maka ketika terjadi hujan di daerah pegunungan dan perbukitan tersebut, khususnya pada lereng yang menghadap ke Kota Solo, maka sebagian air hujan akan dialirkan menuju Kota Solo melalui sungai-sungai yang berhilir di Kota Solo. Kali Pepe misalnya, memiliki hulu di G. Merbabu dan Perbukitan Kendeng (Boyolali), sementara Kali Premulung yang melewati daerah Pajang dan Bumi berhulu di Lereng Kaki G. Merapi (Sukoharjo).
Banjir Desember 2007 disebabkan hujan ekstrem (> 100 mm per hari) yang terjadi di Pegunungan Selatan (Wonogiri) dan G. Lawu (Karanganyar), lalu dialirkan melalui Bengawan Solo menuju Kota Solo, kemudian terkonsentrasi di Kota sebelah timur, sementara hujan di G. Merbabu dan Merapi (Boyolali dan Klaten) tidak besar, sehingga tidak menimbulkan banjir di Kota sebelah barat. Banjir saat ini (akhir Januari 2009) lebih merata di seluruh bagian
Pola banjir seperti yang terjadi tahun ini (akhir Januari 2009), sebetulnya pernah terjadi juga pada tahun 1993. Banjir pada saat itu disebabkan oleh luapan Bengawan Solo yang diikuti pula dengan back water aliran sungai yang masuk Bengawan Solo. Daerah genangan banjir Februari 1993 yaitu sepanjang Kali Premulung, Kali Jenes, Kali Pepe Hilir, serta sekitar Kali Pepe Hulu, Kali Sumber, dan Kalianyar, sama seperti yang terjadi saat ini. Sebelumnya, pada tahun 1982 juga terjadi banjir yang mirip dengan banjir saat ini. Banjir yang terjadi pada Bulan Januari 1982 tersebut merupakan banjir terbesar yang pernah terjadi setelah pembangunan Waduk Gadjah Mungkur di Wonogiri. Menurut Proyek Bengawan Solo, debit banjir waktu itu diperkirakan 1.100 m3/detik di Jurug, setara dengan periode ulang 30 tahun.
Dari pola banjir tersebut bisa dipahami bahwa banjir yang terjadi di Kota Solo tidak identik dengan banjir Kiriman dari Wonogiri, tetapi juga bisa disebabkan oleh air kiriman dari daerah Boyolali, Klaten, atau Karanganyar, sehingga meskipun Waduk Gadjahmungkur sudah dibuat, banjir tetap bisa terjadi. Dengan pola banjir tersebut, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana membebaskan Kota Solo dari banjir?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar