01 Maret 2009

MITIGASI BANJIR KOTA SOLO

Kota Solo kembali kebanjiran (Banjir pertengahan Februari), belum genap sebulan setelah banjir akhir Januari lalu. Banjir kali ini lebih terkonsentrasi di kota sebelah timur, mirip dengan banjir akhir desember 2007 lalu, meskipun tidak sebesar banjir tersebut. Daerah yang tergenang meliputi daerah di sekitar hilir Kali Wingko (Joyotakan), Kali Pepe Hilir (Sewu), Kali Boro (Jagalan), dan Bantaran Bengawan Solo (Semanggi, Sangkrah, Sewu, dan Pucangsawit). Banjir disebabkan oleh naiknya air Bengawan Solo karena air kiriman dari daerah Klaten dan Wonogiri, yang diikuti penutupan pintu air di Demangan, Plalan, dan Putat, untuk menghindari aliran balik (back water) Bengawan Solo menuju kota. Penutupan pintu air menghambat laju air dari dalam kota menuju Bengawan Solo, sehingga terjadi penumpukan air di dekat pintu air, sementara laju pemompaan air belum cukup mengimbangi debit air yang masuk, sehingga terjadilah genangan banjir di hilir anak Bengawan Solo tersebut. Pola banjir seperti inilah yang paling sering terjadi di Kota Solo. Pertanyaannya adalah mengapa “banjir besar” semakin sering terjadi di Kota Solo?
Untuk menjawab pertanyaaan tersebut, perlu dilihat kerentanan Kota Solo terhadap banjir. Dilihat dari aspek kerentanan, Kota Solo memiliki tingkat kerentanan terhadap banjir yang semakin meningkat. Meningkatnya kerentanan tidak terlepas dari perkembangan kota sendiri yang tidak terencana (unplanned urbanization). Hal ini bisa dilihat dari semakin dominannya penggunaan lahan perkotaan (urban landuse) di satu sisi; di sisi lain menyempitnya ruang terbuka (open space); dan menurunnya kemampuan saluran drainase untuk mengalirkan aliran permukaan karena minimnya perawatan, sedimentasi yang besar termasuk menumpuknya sampah, serta dihuninya bantaran kali.
Dari analisis penggunaan lahan melalui citra satelit (Budi Setiyarso, 2008), diketahui bahwa penggunaan lahan perkotaan seperti permukiman, perdagangan, industri, dan jasa mencakup 81.10% luas kota (3938.54 ha). Sedangkan penggunaan lahan perdesaan (rural landuse) seperti sawah, tegalan, taman kota, lapangan, lahan kosong, termasuk kuburan hanya meliputi 10.57% lahan kota (465.52 ha). Komposisi lahan yang didominasi lahan perkotaan menjadikan sebagian besar air hujan menjadi aliran permukaan dan sebagian kecil lainnya menjadi air tanah.
Hujan yang menyebabkan banjir akhir Januari 2009 lalu disebut Balai Besar Wilyah Sungai (BBWS) Bengawan Solo, memiliki ketebalan 130 mm, dengan asumsi 50% air hujan menjadi aliran permukaan, maka akan ada 2,8 juta m3 air yang harus dialirkan sistem drainase kota menuju Bengawan Solo. Saat air bengawan naik, sebagian air ini akan tertahan di pintu-pintu air di dekat bengawan, ditambah dengan air kiriman dari daerah belakang (hinterland) Kota Solo seperti Boyolali, Klaten, dan Sukoharjo, volume air yang tertahan semakin besar. Air inilah yang sebagian dipompa menuju bengawan dan sebagian lagi menjadi banjir yang menggenangi wilayah kota bagian timur seperti disebut di atas.
Sebagai dampak perubahan iklim global (global climate change), hujan dengan intensitas tinggi (> 100 mm per hari) semakin sering terjadi. Akibatnya bila hujan tersebut jatuh di atas Kota Solo dan daerah hinterlandnya dengan kondisi penggunaan lahan di atas, banjir tidak terelakkan lagi terjadi. Kota Solo saat ini seperti disinyalir Alexander (1990) berada pada kondisi kerentanan maksimal (a state of maximum vulnerability). Kondisi ini dipicu oleh tindakan manusia yang meningkatkan risiko banjir (risk amplification measures), tanpa diimbangi tindakan untuk mengurangi risiko banjir (risk mitigation measures) yang cukup berarti, sehingga wajar bila banjir lebih mudah terjadi.
Banjir besar berturut-turut mulai banjir februari 2007, banjir desember 2007, sampai dengan banjir kedua di tahun 2009 ini, menyadarkan kita bahwa pada dasarnya Kota Solo rawan banjir. Sebagai daerah yang berada pada cekungan antar pegunungan dan perbukitan (intermountain basin), Kota Solo memang rawan banjir (lihat tulisan penulis di Solopos, 3/2/2009). Paku Buwana (PB) II sadar betul akan hal ini, sehingga saat memindahkan Kraton Mataram dari bumi Kartasura ke Desa Sala, sebagai cikal bakal Kota Solo, 264 tahun lalu, prioritas rekayasa lingkungan terkait banjir diutamakan. Bentuk adaptasi banjir mulai dari yang sederhana sampai yang canggih sudah dibuat (Budi Setiyarso, 2008), bahkan kita masih bisa merasakannya hingga saat ini.
Tindakan adaptasi banjir yang lumayan canggih untuk zamannya dilakukan oleh PB III yaitu dengan dipindahnya Bengawan Solo ke timur Semanggi, untuk mengurangi risiko banjir Kraton Kasunanan. PB III juga melakukan pengurugan/reklamasi daerah berawa dan berelevasi rendah yang berpeluang menjadi genangan di kota bagian timur. Setelah kejadian banjir tahun 1892 yang menggenangi Keraton Kasunanan pada masa Paku Buwono X dan Mangkunegara VI, dibangunlah 2 buah banjir kanal. Banjir Kanal Kali Anyar dan Kali Tanggul dibangun untuk mengalihkan air dalam jumlah besar, masuk kota dari arah utara dan selatan. Saat itu juga dibangun 2 sistem tanggul (tanggul Kali Anyar dan Bengawan Solo), untuk menahan luapan banjir 2 kali tersebut. Dam Gemunggung dan pintu air Tirtonadi juga dibangun untuk penggelontoran Kali Pepe pada musim kemarau, sedangkan pada saat hujan pintu air Tirtonadi ditutup. Terakhir dibangun pintu air Demangan di pertemuan Kali Pepe Hilir dan Bengawan Solo untuk menangkal aliran balik Bengawan Solo menuju Kali Pepe hilir. Pada masa Mangkunegara VII dibangunlah Waduk Cengklik (Boyolali) untuk pengendalian banjir dan saluran irigasi di Solo Utara. Gambaran di atas mengunjukkan betapa canggihnya bentuk adaptasi banjir di Kota Solo pada jaman kerajaan dulu.
Setelah masa kemerdekaan, pembangunan perlindungan banjir kurang begitu nampak, hingga terjadi banjir besar pada tahun 1966. Peristiwa tersebut mendorong pemerintah membuat kebijakan penanggulangan banjir bernama Proyek Penanggulangan Bencana Alam. Proyek ini masih berjalan hingga saat ini, hanya berubah nama menjadi BBWS Bengawan Solo. Salah satu proyek besar yang dihasilkan badan ini adalah pembangunan Waduk Gajah Mungkur, Pelurusan Bengawan Solo dan Tanggul Luar Bengawan Solo sekitar tahun 1980. Penanganan banjir selanjutnya tidak terlalu menonjol.
Respon terhadap banjir yang dilakukan pihak kerajaan, lebih fokus di Kota Solo, sementara yang dilakukan BBWS Bengawan Solo mencakup pula penanganan daerah hulu sungai (hinterland Kota Solo) untuk menangani banjir kiriman, khususnya yang berasal dari Pegunungan Selatan, sementara banjir kiriman dari Pegunungan Barat (G. Merapi dan Merbabu) dan Timur (G. Lawu) belum tertangani sampai saat ini. Sebetulnya respon terhadap banjir seperti dinyatakan Ward (1978) meliputi 3 hal, pertama protection (perlindungan); kedua, adjustment (penyesuaian), dan ketiga, abatement (penyusutan).
Protection merupakan mitigasi banjir struktural dalam bentuk merekayasa sungai yaitu pembuatan talud, tanggul, normalisasi sungai, bendungan dan banjir kanal. Bentuk mitigasi banjir inilah yang paling sering dilakukan oleh pihak kerajaan maupun BBWS Bengawan Solo, tetapi karena aspek perawatan kurang, sehingga beberapa tanggul yang sudah tua usianya di beberapa titik jebol, dan mengakibatkan banjir masuk ke permukiman warga seperti di Joyotakan. Bentuk Adjustment merupakan mitigasi non struktural, khususnya terkait dengan tindakan manusia yaitu tanggap darurat (emergency response), penahanan banjir (flood proofing), pengaturan penggunaan lahan dan kebijakan keuangan. Bentuk mitigasi kedua ini sangat kurang dilakukan, apalagi masyarakat terlena dengan bentuk proteksi yang ada dan merasa aman dari banjir, bahkan sebagian masyarakat “nekad” membangun permukiman di flood way atau jalannya banjir, sehingga begitu banjir, otomatis mereka terkena dampaknya. Merekalah yang sekarang menjadi subyek relokasi.
Sedangkan abatement adalah pengendalian banjir sebelum masuk sungai atau pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS), baik dalam bentuk penghutanan kembali maupun kebijakan pengendalian urbanisasi. Mengingat pola banjir di Kota Solo, selain dipengarui banjir lokal, juga dipengaruhi banjir kiriman, maka konsep abatement yang merupakan tindakan lintas daerah, harus segera direalisasikan, dan kerjasama antardaerah mau tidak mau harus dilakukan. Untuk merealisasikan konsep tersebut, gagasan penulis mengenai perdagangan risiko untuk pengelolaan banjir lintas daerah (risk trading in trans-boundary flood management), lihat Solopos, 3/2/2009, bisa menjadi alternatif pemecahannya. Saatnya bagi Pemkot Kota Solo untuk mengambil peran yang signifikan, seperti sudah dilakukan pendahulunya.

2 komentar:

BektiVanSambas mengatakan...

Assalamua'alaikum wr.wb

Saya jadi tertarik dengan mitigasi, penanganan serta penanggulangan bajir. Tampaknya juga solo dan kota saya memiliki kebiasaan yang sama "langganan berendam di genangan banjir" setiap tahunya. cuma bedanya kota saya (sambas) salah satu penyebabnya adalah karena sungainya yang pasang surut. jadi muka air sungai sangat dipengaruhi ketinggian air laut. Mohon pembahasan untuk kasus seperti ini pak. atau mungkin di kampus saat kuliah atau di luar jam kuliah bapak bisa menyinggung masalah ini.

Terimakasih. wassalamu'alaikum wr.wb.

BektiVanSambas mengatakan...

oai pak, saya ada niatan buat ngajukan judul skripsi tentang UU lingkungan hidup, tata ruang wilyah, atau penanggulangan banjir. tapi saya masih bingung juga milih diantara tiga tema itu. ada masukan gak pak??? terima kasih lagi, ;-)