Seperti sudah diketahui pembagian zakat oleh H. Saikhon di Jl Wahidin Sudirohusodo, Kota Pasuruan, berubah menjadi "tragedi". Dari sekitar 5.000 orang yang berjejalan antre zakat di depan rumah H. Saikhon itu, 21 tewas setelah pingsan kehabisan oksigen, dan terinjak-injak. Sudah banyak sekali ulasan mengenai kejadian tersebut dari berbagai aspek mulai dari haramnya zakat tersebut, kemiskinan yang bertambah, mandul dan kurang terpercayanya BAZ, "tebar pesona" di balik ibadah, sampai dengan"kecolongannya" aparat pemerintah. Tulisan ini akan melihat dari sdudut pandang yang berbeda, yaitu aspek spasial dari tragedi tersebut.
Perhatikan Kota Pasuruan dilihat dari Utara dengan Google Earth, di bawah ini (silakan klik untuk tampil besar) : terlihat Kota Pasuruan merupakan kota pantai, sehingga suhu udara di siang hari cukup panas... Kel. Purutrejo, Kec. Purworejo dimana tragedi pembagian zakat terjadi (lihat pada arah selatan ada icon rumah yang menunjukkan lokasi kejadian), juga tidak jauh dari garis pantai (sekitar 4,5 km dari bibir pantai, menggunakan fasilitas ruler pada Google Earth).
Ada baiknya terlebih dahulu kita buka sedikit tentang sejarah Kota Pasuruan...
Kota ini merupakan kota Bandar kuno. Pada zaman Kerajaan Airlangga, Pasuruan sudah dikenal dengan sebutan " Paravan " . Pada masa lalu, daerah ini merupakan pelabuhan yang sangat ramai. Letak geografisnya yang strategis menjadikan Pasuruan sebagai pelabuhan transit dan pasar perdagangan antar pulau serta antar negara. Banyak bangsawan dan saudagar kaya yang menetap di Pasuruan untuk melakukan perdagangan. Hal ini membuat kemajemukan bangsa dan suku bangsa di Pasuruan terjalin dengan baik dan damai. Selengkapnya bisa dibaca disini.
Saat ini Kota Pasuruan merupakan kota kecil. Luas kotanya hanya 13,58 km2, terdiri dari 3 kecamatan yang terbagi dalam 34 kelurahan. Kecamatan tersebut adalah Bugulkidul, Gadingrejo, dan Purworejo. Jumlah Penduduknya 165.992 jiwa, terdiri dari 81.313 jiwa laki-laki, 84.679 jiwa perempuan. Kepadatan penduduknya tinggi mencapai 12.223 jiwa/km2. Sebagai kota yang padat penduduk, kota ini juga tidak lepas dari masalah sosial yang berat. Jumlah keluarga miskin pada tahun 2006 mencapai 8.512 KK, wanita rawan sosial-ekonomi 567 jiwa. Masalah sosial yang lain selengkapnya bisa dilihat pada data milik Dinas Sosial Propinsi Jatim.
Mari kita jelajahi desa Purutrejo, dimana tragedi pembagian zakat itu terjadi dari arah selatan. Terlihat desa tersebut berada di tepi Sungai Gembong. Daerah ini merupakan daerah rawan banjir. Banjir terakhir terjadi pada Akhir Januari 2008. Saat itu seperti diberitakan Kapan Lagi.Com, ratusan warga dari Desa Purut Rejo dan Wirogunan, Kecamatan Purworejo, Kota Pasuruan, hingga Kamis pagi masih mengungsi di atas kuburan Purut Rejo dengan membawa barang-barang miliknya karena banjir masih menggenangi rumah mereka. "Di mana-mana air meninggi hingga mencapai satu meter lebih. Satu-satunya jalan ya mengungsi di kuburan ini. Kami tidak takut meskipun mengungsi sejak tadi malam karena orangnya banyak," kata seorang warga pengungsi. Warga dari dua desa itu mengungsi ke kuburan karena posisinya memang lebih tinggi dibandingkan rumah-rumah mereka. Sementara itu ribuan warga kota lainnya mengungsi ke jalan-jalan, karena rumahnya tergenang air. Bahkan ada daerah yang airnya mencapai atap rumah, seperti terjadi di sekitar stadion atau di belakang kantor Pemkot yang daerahnya memang rendah, karena mendapat tambahan luapan air dari Sungai Gembong.
Banjir yang terjadi tentu saja semakin menyengsarakan masyarakat kelas bawah di Kota Pasuruan. Apalagi biasanya daerah sepanjang tepi sungai atau bantaran kali, biasanya dihuni oleh mereka yang termasuk golongan ekonomi bawah atau sering disebut kaum marjinal. Sementara sampai di sini dulu. Pembahasan detil lokasi kejadian (Rumah H. Saikhon) disambung diposting berikutnya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar