Aktivitas Merapi 2006 menunjukkan bahwa letusan Gunung Merapi bersifat dinamis. Dinamika letusan mulai tampak saat pusat letusan bergeser dari semula diperkirakan pada kawah bagian barat laut-utara dekat dengan pusat letusan sebelumnya (2001), menuju kawah bagian selatan-tenggara (dekat kawah gendol). Fenomena runtuhnya geger boyo memperkuat bahwa letusan gunung Merapi tidak terbatas pada jalur tradisional Barat-Barat Daya, tetapi juga bisa mengarah ke sektor lain, dalam hal ini sektor selatan.
Implikasi dari letusan yang dinamis adalah penduduk yang menghuni kawasan rawan bencana harus waspada apalagi yang berada pada sektor lereng yang aktif. Permasalahannya sensitivitas penduduk yang menghuni sektor lereng yang lama tidak aktif biasanya menurun, padahal bencana biasanya terjadi saat terjadi perubahan sektor lereng aktif seperti pada tahun 1954 dan tahun 1994. Dengan demikian runtuhnya geger boyo yang menandai perubahan sektor lereng aktif perlu dicermati secara seksama.
Asumsi Daerah Bahaya Berubah
Zonasi daerah bahaya vulkanik biasanya mendasarkan asumsi, pertama erupsi di masa depan akan mengikuti pola yang sama dengan erupsi sebelumnya, dan proses vulkanik yang sama akan mencirikan erupsi di masa depan. Kedua, sumber utama material erupsi (debu, lapili, bom, lava, dan awan panas) di masa depan akan berasal dari kawah utama atau kawah parasit aktif sebelumnya.
Asumsi ketiga, morfologi gunungapi dianggap tidak berubah, sebab perubahan besar pada morfologi gunungapi seperti rusaknya dinding kawah, pasti akan memberikan pengaruh pada distribusi produk erupsi di masa mendatang. Keempat erupsi tidak begitu eksplosif sampai membentuk kaldera. Kejadian semacam itu sangat jarang terjadi dan pengaruhnya sulit diperkirakan.
Dari empat asumsi di atas kalau diterapkan untuk aktivitas Merapi 2006, asumsi pertama dan keempat masih berlaku, tetapi asumsi lainnya sudah tidak berlaku lagi. Pertama erupsi masih mengikuti pola erupsi sebelumnya yaitu letusan yang dicirikan pembentukan kubah lava, guguran lava pijar, dan awan panas guguran. Kedua, meskipun pola erupsi sama tetapi pusat erupsi 2006 bergeser, sehingga lokasi dan daerah bahaya berubah. Skenario pananganan bencana pun mestinya berubah.
Ketiga, morfologi puncak gunung berapi berubah ditandai dengan runtuhnya geger boyo, akibatnya daerah selatan yang selama ini relatif terlindung oleh dinding kawah tersebut, sekarang menjadi lebih terbuka terhadap bahaya. Meskipun morfologi puncak berubah tetapi erupsi diperkirakan tidak akan terlalu besar seperti pada asumsi keempat di atas. Permasalahannya lereng selatan merupakan daerah yang berkembang dengan pesat khususnya kawasan wisata kaliurang dengan segala infrastrukturnya dan hanya berjarak sekitar 6 km dari puncak. Padahal potensi letusan lebih dari 7 km ada, sehingga perlu kewaspadaan yang lebih tinggi, termasuk kecamatan Cangkringan dimana mbah Maridjan tinggal. Keberadaan ”morfologi pelindung” seperti bukit Turgo, Plawangan, Cemoro, Uto, dan Kendil belum bisa menjamin lereng selatan aman dari luncuran awan panas, seperti kejadian tahun 1994 di mana dusun Turgo tetap terlanda awan panas meskipun berada di belakang bukit Turgo.
Pengalaman Bencana dan Sensitivitas Penduduk
Penduduk yang menghuni lereng Barat-Barat Daya, sekitar kali Senowo, Lamat, Blongkeng, Putih, Batang, Bebeng dan Krasak selama abad 20 paling sering mendapat pengalaman bencana dengan korban jiwa dan kerugian material yang besar. Awan panas 1920, 1930, 1961, dan 1969 melanda daerah tersebut. Korban dan kerugian 35 jiwa (1920); 1.369 jiwa, 13 kampung hancur total, 23 kampung rusak sebagian, 1.109 rumah hancur, dan 2140 ternak mati (1930); 6 orang meninggal dunia dan 9 kampung hancur (1961); 3 orang meninggal dan 91 rumah hancur (1969). Bencana lahar yang banyak menimpa lereng Barat-Barat Daya pada tahun 70-an dan 80-an tidak disebut di sini.
Penduduk di lereng Tenggara (sekitar Kali Woro), Utara (sekitar Kali Apu) dan Selatan (sekitar Kali Boyong) masing-masing memiliki pengalaman sekali terhadap bencana awan panas. Bencana tersebut menimbulkan korban dan kerugian material yang besar, berurutan 16 jiwa (1904); 64 orang meninggal dunia, 3 kampung dan 90 rumah hancur (1954); 64 jiwa dan dusun Turgo sebagian hancur, (1994). Sementara penduduk di lereng Timur Laut (Kali Gandul), Timur (Kali Teleng-Tlogo, Krasak), Selatan (Kali Gendol dan Kuning), serta di Lereng Barat Laut (Kali Trising) belum pernah mendapat pengalaman bencana selama abad 20, meskipun berada di kawasan rawan bencana (KRB). Erupsi yang terjadi tidak menyentuh wilayah tersebut. Hal ini bisa menimbulkan persepsi yang keliru, bahwa daerah tersebut tidak rawan terhadap bencana.
Sensitivitas penduduk terhadap bahaya erupsi dipengaruhi pengalaman terhadap bencana. Penduduk di KRB yang tidak pernah mengalami pengalaman bencana tingkat sensitivitasnya rendah. Indikator yang paling mudah untuk menilai tingkat sensitivitas adalah jarak permukiman dari puncak. Penduduk di lereng utara-barat laut membangun permukimannya pada jarak sekitar 4 km, begitu juga penduduk di lereng Selatan pada jarak sekitar 5-6 km.
Sebaliknya masyarakat yang menghuni sektor lereng yang paling sering mendapat pengalaman bencana seperti lereng barat daya, tingkat sensitivitasnya tinggi. Mereka membangun permukimannya di luar jangkauan awan panas terbesar ke-dua abad 20 (1961) sejauh > 10 km. Ketika ada awan panas kecil sampai sedang dengan jarak jangkau 4 – 8 km, penduduk di lereng barat-daya aman. Tetapi bila mengarah ke lereng utara-barat laut atau ke selatan awan panas tersebut sudah menimbulkan bencana yang besar.
Runtuhnya geger boyo membuka peluang bencana khususnya untuk lereng selatan. Tulisan ini mengajak masyarakat di sektor selatan, khususnya yang berada di sekitar alur Kali Gendol, Kuning, dan Boyong, pada radius 7 km untuk lebih sensitif terhadap bahaya erupsi, dengan cara mencermati status aktivitas Merapi yang dipantau oleh BPPTK dan mengikuti rekomendasi yang dianjurkan. Kita berharap semoga kubah 2006 di puncak tidak runtuh serentak, tetapi sedikit demi sedikit sampai stabil. Dengan demikian awan panas yang dihasilkan tidak melebihi 5 km, sehingga tidak menimbulkan bencana.
Tulisan ini pernah dimuat di Kedaulatan Rakyat, Jogja, sebelum erupsi 2006 terjadi. Saat itu redaksi merubah judulnya menjadi "Geger Boyo Ambrol, Warga Lereng Selatan Harus Lebih Waspada".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar