Tulisan ini merupakan refleksi kekhawatiran penulis terhadap sikap kita sebagai bangsa yang mudah lupa meskipun bencana bertubi-tubi mendera kita.Kita selalu kehilangan momentum untuk berubah dan kembali kedodoran ketika bencana terjadi lagi. Penulis menggagas Tahun 2006 sebagai tahun bencana Nasional, dan tanggal 26 Desember sebagai hari bencana nasional. Alasan penetapan tahun dan hari tersebut selengkapnya silakan baca lebih lanjut (ditulis pada 20 Oktober 2006).
Hari Internasional Pengurangan Bencana (International Day for Disaster Reduction) yang diperingati setiap hari Rabu minggu kedua bulan Oktober, tahun ini jatuh pada tanggal 11 Oktober 2006. Hari Internasional Pengurangan Bencana (HIPB) 2006 mengangkat tema “Membangun Ketahanan Sekolah Terhadap Bencana”. Tema ini lahir dari harapan untuk mengurangi risiko bencana melalui pengenalan sejak dini tentang risiko-risiko bencana kepada siswa-siswa sekolah dan bagaimana membangun kesiapsiagaan bencana (disaster preparedness).
HIPB ditetapkan oleh Sidang Umum PBB pada tanggal 22 Desember 1989 melalui resolusi 44/236. HIPB setiap tahunnya diamati selama Dekade Internasional Pengurangan Bencana Alam, mulai tahun 1990 -1999. Pada tahun 2001, Sidang Umum PBB memutuskan untuk mempertahanakan ritual (ceremony) HIPB melalui resolusi 56/195 tanggal 21 Desember, sebagai sarana untuk mempromosikan budaya global pengurangan bencana, meliputi pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan terhadap bencana.
Indonesia harus memperingati HIPB mengingat bencana besar terjadi susul-menyusul mulai tahun 2002 dan mencapai klimaknya tahun 2006. Mulai dari tenggelamnya Ibukota Jakarta pada tahun 2002, banjir bandang bohorok (2003), Tsunami Aceh (2004), Tsunami Nias (2005), dan rentetan bencana besar pada tahun 2006. Awal tahun 2006 dibuka dengan 2 bencana besar yaitu banjir bandang di Kabupaten Jember dan longsor di Banjarnegara (Januari), berikutnya banjir yang menenggelamkan Pantai Utara Pulau Jawa (Februari), banjir bandang yang memporak-porandakan Kota Trenggalek (April), Gempa Yogya (Mei), erupsi Gunung Merapi dan banjir bandang Sinjai (Juni), gempa dan Tsunami Pengandaran (Juli), sampai dengan semburan lumpur panas Sidoarjo dan kebakaran hutan.
Apalagi sebagai bangsa kita seperti kewalahan menangani bencana-bencana tersebut. Pola penanganan bencana baik di tingkat pusat maupun di daerah dan kota masih belum jelas. Indikasinya adalah status suatu bencana apakah masuk kategori bencana daerah atau bencana nasional sering menjadi perdebatan, anggaran bencana yang habis, tarik-menarik kewenangan penanganan bencana, buruknya koordinasi antar sektor dan lambatnya penangan bencana masih selalu terjadi. Penanganan bencana pun masih sebatas tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi, sementara pengurangan risiko bencana melalui upaya pencegahan, mitigasi, dan kesiapsiagaan masih sangat kurang.
Kita bahkan belum memiliki Undang-Undang Penanganan Bencana dan Badan Mitigasi Nasional. Pembahasan RUU Penanganan Bencana yang digulirkan DPR mulai tahun 2005 pun berlarut-larut dan selalu dikalahkan dengan pembahasan RUU yang lain. Momentum selalu hilang dan kita sepertinya tidak pernah mau belajar. Bencana yang terjadi belum cukup signifikan mendorong sebuah upaya besar untuk mengatasinya secara permanen. Sungguh ironis kita terantuk pada batu yang sama berkali-kali, karena krisis tidak pernah dimaknai sebagai peluang untuk berubah.
Memang pemerintah memanfaatkan momentum bencana gempa bumi dan tsunami Aceh dengan menerbitkan Perpres No 83 Tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Nasional (Bakornas) Penanganan Bencana (PB) menggantikan Keppres No 3 Tahun 2001 jo 111/2001 tentang Bakornas Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (PBP). Kebijakan tersebut dimaksudkan untuk merevitalisasi Bakornas PB yang semula berfungsi sebatas sebagai badan kooordinasi berubah menjadi badan koordinasi dan operasional. Permasalahannya meski Perpres sudah terbit dan ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sejak 29 Desember 2005, revitalisasi hanya menjadi "macan kertas". Kegagapan pemerintah dalam menghadapi bencana terus terulang.
Untuk memecah kebuntuan tersebut, salah satunya adalah dengan cara menetapakan Hari dan Tahun Bencana Nasional (HTBN) sebagai sarana untuk membangun kesadaran bersama bahwa bencana yang sama tidak boleh terulang lagi. Sekaligus sebagai momentum perubahan paradigma PB, yang meliputi semua jenis ancaman bencana (multihazards); meliputi keseluruhan aspek bidang kerja PB (comprehensive) dan melibatkan semua pihak (integrated) dengan titik berat pada pengurangan risiko dan kesiapsiagaan bencana. Seperti PBB menetapan HIPB sebelum mencanangkan Dekade Internasional Pengurangan Bencana Alam (International Decade for Natural Disaster Reduction /IDNDR), kita juga perlu mencanangkan HTBN sebagai momentum perubahan PB.
Sebelumnya pada tahun 2005, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penanganan Bencana yang terdiri dari berbagai NGO Nasional, akademisi, organisasi kemasyarakatan, tokoh masyarakat dan NGO internasional di Indonesia, menghimbau Bapak Presiden untuk mencanangkan hari pengurangan risiko bencana setiap hari Rabu minggu kedua bulan Oktober, sesuai dengan ketetapan PBB di atas sebagai momentum untuk pendidikan publik dan perbaikan sistem pengurangan risiko bencana. Himbauan tersebut menggarisbawahi kenyataan bahwa masyarakat Indonesia sungguh hidup dengan berbagai ancaman bencana; sementara Negara dan Pemerintah Indonesia masih jauh dari memenuhi secara memadai mandat konstitusional ”...untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia ...” (Pembukaan UUD 1945 Alinea IV); Di sisi lain kemiskinan yang semakin bertambah, membuat masyarakat kita semakin rentan terhadap dampak bencana.
Melalui forum ini penulis mengusulkan Tahun 2006 sebagai Tahun Bencana Nasional (TBN), sedangkan Tanggal 26 Desember setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Bencana Nasional. Tahun 2006 diusulkan sebagai TBN dengan pertimbangan seluruh tipe bencana yang paling sering terjadi, paling mematikan, paling merusak rumah, paling berdampak luas, dan paling merugikan terjadi secara simultan pada tahun tersebut. Data historis bencana (EM-DAT: The OFDA/CRED International Disaster Database) selama 1 abad (1907-2006), mencatat 3 bencana yang paling sering terjadi (45 - 105 kali) yaitu banjir, gempabumi dan gunung meletus. Tiga besar bencana yang paling mematikan (8000 – 165.708 jiwa) yaitu tsunami, gempabumi, dan letusan gunungapi, sedangkan 3 bencana yang paling merusak rumah (202.405 – 979.700 buah) yaitu gempabumi, tsunami, dan banjir. Bencana yang paling berpengaruh luas (4.894.220 – 5.860.001 jiwa) yaitu banjir, gempa, dan kekeringan, sedangkan bencana yang paling merugikan (3.937 – 17.235 milyar dolar) yaitu kebakaran hutan, tsunami, dan gempabumi.
Sementara tanggal 26 Desember diusulkan sebagai hari bencana nasional dengan pertimbangan pada tanggal tersebut terjadi bencana yang paling mematikan dalam sejarah bencana di Indonesia yaitu Tsunami Aceh pada tahun 2004 yang menewaskan 165.708 Jiwa. Tsunami Aceh bahkan tercatat sebagai gelombang Tsunami yang paling mematikan di dunia. Akhirnya semoga kita termasuk bangsa yang bisa belajar dari sejarah bencana, bukan bangsa bebal yang selalu kehilangan momentum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar