Tulisan ini berusaha mengupas beberapa kelemahan mendasar dari asumsi yang dipakai dalam Perpres No. 14 Tahun 2007, yang pada akhirnya menjebak pemerintah sendiri dalam mengambil kebijakan. Perpres tersebut bisa menjadi buah simalaka bagi pemerintah karena banyaknya ironi di sana, khususnya terkait dengan tuntutan Warga Besuki yang meminta wilayah mereka masuk dalam peta wilayah terdampak (ditulis pada 17 Februari 2008).
Peraturan Presiden (Perpres) No. 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) berpotensi menjadi buah simalakama bagi pemerintah karena beberapa asumsi yang mendasarinya lemah. Asumsi bahwa zona dampak semburan Lumpur Lapindo bisa dibatasi secara strict, seperti tercantum dalam Pasal 15 ayat 4, sebetulnya sangat gegabah. Karena seperti diketahui upaya penanganan semburan lumpur dari awal selalu gagal, penanganan luapan lumpur pun banyak menemui kendala, padahal volume lumpur yang dikeluarkan masih sangat besar. Konsekuensinya zona dampak bencana pasti akan bertambah luas seiring berjalannya waktu, melewati batas Peta Area Terdampak Tanggal 22 Maret 2007 yang menjadi tanggung jawab PT Lapindo, seperti tercantum dalam lampiran Perpres.
Terbukti, saat ini banyak desa di luar peta area terdampak di atas, mengalami dampak langsung (bahaya primer) maupun tidak langsung (bahaya sekunder) dari semburan maupun luberan Lumpur Lapindo. Seperti Desa Besuki yang tergenang lumpur karena jebolnya tanggul beberapa waktu lalu. Desa Siring pun menjadi sangat berisiko untuk dihuni, akibat munculnya bubble yang mengandung gas yang mudah terbakar (dampak primer). Lantai rumah di 2 wilayah tersebut juga banyak yang retak-retak akibat amblesnya tanah, begitu juga banyak sumur warga yang sudah tercemar (dampak sekunder).
Melihat kondisi di atas, wajar bila penduduk Desa Besuki menuntut wilayah mereka masuk dalam peta wilayah terdampak. Sebelum Perpres keluar, warga Perumtas I sudah pernah melakukan hal yang sama dan berhasil. Masalahnya, seperti disebutkan dalam pasal 15 ayat 3, biaya masalah sosial kemasyarakatan di luar peta area terdampak tanggal 22 Maret 2007, setelah ditandatanganinya Perpres tersebut, dibebankan pada APBN. Pertanyaannya apakah pemerintah akan mengabulkan permintaan penduduk Desa Besuki seperti halnya dengan Warga Perumtas I, dengan konsekuensi melanggar Perpres, atau pemerintah akan konsekuen menjalankan isi Perpres dan mengambil alih tanggung PT Lapindo? Pertanyaan selanjutnya, apakah pemerintah akan memberikan ganti rugi yang sama dengan yang diberikan PT Lapindo ataukah pemerintah akan mengambil “kebijakan lain” sesuai kemampuan APBN, dengan konsekuensi dicap tidak adil oleh rakyatnya ? Inilah buah simalakama dari sebuah Perpres yang disusun dengan tidak cermat.
Di sisi lain, tugas BPLS seperti tercantum dalam pasal 1, juga kurang realistis, terkesan menutup mata terhadap kondisi lapangan. Tugas BPLS menurut Perpres ada tiga; pertama, menangani upaya penanggulangan semburan lumpur; kedua, menangani luapan lumpur; dan ketiga, menangani masalah sosial dan infrasrtuktur akibat luapan lumpur di Sidoarjo, dengan memperhatikan risiko lingkungan yang terkecil. Tugas pertama dan kedua BPLS merupakan usaha untuk mengurangi dampak negatif bencana dengan cara mengendalikan peristiwanya (modify event). Sedangkan tugas ketiga merupakan upaya untuk mengurangi dampak negatif bencana dengan cara mengurangi aspek kerentanan (modify human vulnerability) dan membagi kerugian secara adil (distribute the losses), White and Hass (1993).
Kalau dievaluasi dari tugas BPLS di atas, maka bisa ditebak tugas ke-1 dan ke-2 banyak menemui kendala. Upaya penanggulangan semburan lumpur praktis sudah tidak dilakukan lagi sejak insersi bola beton menunjukkan hasil yang kurang signifikan. Upaya menangani luapan lumpur juga tidak bisa dikatakan sukses, terbukti seringnya tanggul jebol, seperti pada kasus Desa Besuki di atas. Dengan demikian upaya modify event melalui penanganan semburan lumpur, boleh dikatakan gagal. Padahal sudah sejak lama, para pakar geologi memperingatkan bahwa penangan semburan lumpur, sudah game over. Terbukti, dari 4 skenario penghentian semburan lumpur mulai dari snubbing unit, sidetracking, relief well dan insersi bola beton, semuanya gagal.
Pemerintah mestinya lebih bijak dan tidak terus memaksakan diri untuk melakukan modify event, karena tidak semua peristiwa yang menimbulkan bencana bisa dikendalikan, seperti halnya Tsunami dan letusan gunung api. Sama seperti terhadap Tsunami dan letusan gunung api, terkadang kita hanya tinggal menghindarinya, sampai aspek bahayanya tuntas. Begitu juga sikap kita terhadap semburan Lumpur Lapindo, karena cenderung tidak bisa dikendalikan, kita tinggal membiarkannya sampai pada keseimbangannya, dan menghindarinya pada jarak yang aman.
Penanganan bencana model Perpres yang dilaksanakan BPLS saat ini, malah menempatkan penduduk pada kondisi kerentanan maksimum (a state of maximum vulnerability) seperti terlihat pada kasus Desa Besuki di atas. Penanggulan luapan lumpur sampai ketinggian di atas 10 m dengan volume yang terus bertambah, sementara di sekelilingnya masih banyak permukiman penduduk yang belum direlokasi merupakan tindakan yang justru memperkuat risiko (risk amplification measures), apalagi tanggulnya tidak permanen. Seringnya tanggul jebol serta adanya indikasi menguatnya bahaya sekunder mencerminkan kondisi kerentanan tersebut.
Belajar dari kegagalan Timnas Penanggulangan Lumpur sebelumnya, mestinya dari awal, Perpres lebih fokus kepada modify human vulnerabilty dan distribute the losses, daripada modify event yang terbukti gagal. Sehingga tidak seperti sekarang, dana terus dihamburkan untuk penanganan kejadian yang hasilnya tidak jelas, sementara penanganan dampak sosial berjalan sangat lambat. Tercermin dari kasus seretnya pencairan cicilan ganti rugi tanah yang terendam lumpur tahap pertama sebesar 20%, saat itu Presiden bahkan harus “turun gunung” untuk mempercepat pelaksanaannya. Semoga tidak berulang pada pencairan sisa pembayaran 80% yang April nanti masuk tenggat waktu, seperti diamanatkan Perpres.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar