23 Desember 2008
PROGRAM DAN PETA LATIHAN
22 Desember 2008
17 Desember 2008
SOAL UJIAN SIG PEMBELAJARAN S2 GEO
1. SIG disebut oleh beberapa pakar pendidikan bisa meningkatkan kecerdasan spasial (spatial intelligence). Jelaskan bagaimana SIG bisa meningkatkan kecerdasan spasial siswa?
2. Buatlah satu skenario pembelajaran dengan model pembelajaran CTL atau PBL (pilih salah satu) yang memanfaatkan SIG untuk mencapai satu indikator pembelajaran (1 Kompetensi Dasar terlalu luas)!
Perhatian:
Silakan didiskusikan soal di atas, manfaatkan internet untuk browsing beberapa kata kunci pada soal tersebut, tetapi jawaban harus individual (indikator pembelajaran tidak boleh sama antara satu orang dengan lainnya, kalau pun sama, model pembelajarannya harus berbeda). Jika ditemui jawaban sama, nilai akan dibagi 2. Jawaban ditunggu Jum'at (19/12/2008). Terima kasih.
Selama mengerjakan!
02 Desember 2008
Materi Persiapan UJi Kompetensi TIK
20 November 2008
Lembar Kerja Excel untuk Program Sertifikasi Guru
19 November 2008
SOAL MID SIG DASAR
Gempa berkekuatan 7,7 skala Richter, Senin (17/11/08) pukul 01.02 di Laut Sulawesi, memorakporandakan ratusan rumah dan fasilitas umum, termasuk sekolah di Kabupaten Buol, Provinsi Sulawesi Tengah, serta Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Empat orang dilaporkan tewas. Dari keempat orang yang tewas itu, tiga tewas di Buol dan satu tewas di Gorontalo Utara. Gempa yang berpusat pada 1,41 derajat Lintang Utara dan 122,18 derajat Bujur Timur atau 138 kilometer Barat Laut Gorontalo itu semula disebut berpotensi tsunami. Hal itu mengingat kekuatannya mencapai 7,7 SR dan episentrum berada di kedalaman 10 kilometer di bawah laut. Namun, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika kemudian mencabut peringatan soal potensi tsunami itu (Kompas, 18/11/08).
Lihat “print screen” WebGIS BMG berikut :
Terlihat cuplikan basis data karuangan (spatial data base) gempa terkini dengan magnitud > 5 SR. Cermati basis data tersebut, kemudian jawab pertanyaan berikut:
- Data keruangan dan atribut apa yang ada pada cuplikan gambar di atas?
- Apakah sudah ada manipulasi data? Jika ya, jelaskan!
- Magnitud gempa termasuk dalam tingkat pengukuran data apa?
- Coba bandingan metode penayangan gempa BMG dengan USGS (lihat gambar di bawah), apa yang berbeda? Jelaskan!
Cermati tayangan data di atas, kemudian jawab pertanyaan berikut:
5. Dari beberapa bentuk penayangan GIS di atas (WebGIS BMG, WebGIS Google Earth, dan Desktop GIS), apa yang bisa Anda simpulkan mengenai SIG!
Bila gambar kurang jelas karena resolusinya kecil, soal di atas bisa di download di sini!
14 November 2008
SOAL MID SIG PEMBELAJARAN
Beberapa pakar pembelajaran geografi menyatakan bahwa "SIG memungkinkan penggunaan strategi pembelajaran berbasis penyelidikan (inquiry-based learning) dan mempromosikan berfikir kritis (critical thinking)." Beberapa tool SIG seperti Query dan Overlay memang bisa digunakan untuk 2 strategi pembelajaran tersebut.
Buatlah suatu skenario pembelajaran yang memanfaatkan kemampuan SIG untuk mencapai satu kompetensi tertentu dengan pendekatan 2 strategi pembelajaran di atas dengan kasus nyata tentunya.
Selamat mengerjakan !
Jawaban dikumpulkan Jum'at minggu depan dalam bentuk CD (simpan dalam format doc/versi lama).13 November 2008
Soal Ujian Mid SIG Lanjut
04 November 2008
GEORERERENSI (Bagian 1)
“Every map user and maker should have a basic understanding of projections no matter how much computers seem to have automated the process.” John P. Snyder”, Pengarang buku Map Projections, 1987.
Why is this important?
• Creating spatial data (collecting GPS data)
• Import into GIS and overlay with other layers
• Acquiring spatial data from other sources
• Display your GPS data using maps
Karena Bumi hampir bulat sempurna, Sistem Pereferensian Globe Dasar (Elementary Globe Referencing System) didasarkan pada koordinat bola. Sistem ini disebut sistem koordinat geografis yang didefinisikan sebagai suatu lokasi yang ditentukan oleh besaran garis lintang (latitude) dan besaran garis bujur (longitude) dan dinyatakan dalam derajat, menit dan detik. Gambar berikut menunjukkan sistem ini, dimana garis lintang dan garis bujur terukur dalam derajat, menit dan detik. Sumber dari sistem koordinat bola ini adalah titik potong dari garis ekuator dan meridian utama
Untuk latitude, equator diartikan sebagai 0, kutub utara ditulis +90° atau 90°U (utara) dan kutub selatan ditulis -90° atau 90°S. Perpotongan semua bidang suatu latitude tertentu dengan globe disebut paralel, semua bentuk setengah lingkaran mulai dari kutub utara sampai kutub selatan disebut meridian, meridian sebelah timur dari meridian Greenwich, (yang didefinisikan sebagai 0° longitude), meningkat sampai menuju +180° atau 180° T (timur), dan ke barat sampai menuju -180° atau 180°B (Barat). Kedua jenis garis-garis tersebut membuat jaring-jaring secara global yang disebut gratikul (graticular network).
Untuk mengetahui lokasi, latitude (Ψ) dan longitude (λ) diukur dari pusat bumi ke lokasi yang ada di permukaan bumi. Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa latitude geografik suatu titik (Ψ) ditentukan berdasarkan sudut, pada bidang meridian, antara ekuator dan garis dari pusat bumi menuju titik yang diukur yang ada di permukaan bumi. Longitude geografik (λ) ditentukan berdasar sudut, pada bidang ekuator, antara meridian
Pada kasus Prodi Geografi berupa titik, bagaimana kalau berupa luasan/poligon seperti pada kasus peta banjir kota solo, bagaimana menentukan koordinatnya ?
Hubungan antara koordinat geografi dan jarak di bumi ditentukan oleh lokasinya di permukaan bumi. Di sepanjang ekuator dan meridian, 1° adalah 111,11 km, diasumsikan bahwa keliling bumi adalah 40.000 km dan memiliki jari-jari 6370 km. Pada latitude 45° U atau S, paralel memiliki keliling 28301 km, hasilnya 1 ° (satu derajat), panjangnya 78,6 km, sedangkan pada kutub nilainya adalah nol.
Untuk proyeksi peta, dailanjut di posting berikutnya! Selamat belajar..
Referesensi:
Menno-Jan Kraak dan Ferjan Ormeling, 2007. Kartografi: Visualisasi Data Geospasial, Edisi Kedua, Gadjah Mada University Press.
Anonim, tanpa tahun, http://www.fws.gov/southeast/gis/training_2k5/coordinates_datums_projections_APR_04.ppt
Google Earth
30 Oktober 2008
Potensi Banjir Kota Solo (Bagian 1)
29 Oktober 2008
Analisis Keruangan "Kolong Tambang Timah" di Bumi Laskar Pelangi
Ini pertanyaan quiz untuk kuliah sig lanjut.. jawaban akan diposting setelah ada diskusi di kelas..
SIG untuk Pembelajaran Dinamika Atmosfer
27 Oktober 2008
Mengenal Lebih Dekat "Bumi Laskar Pelangi"
23 Oktober 2008
Materi Word TIK Program Sertifikasi
22 Oktober 2008
Bahan Kuliah SIG Dasar (Model Data Spasial)
20 September 2008
Aspek Spasial Tragedi Zakat Pasuruan
Saat ini Kota Pasuruan merupakan kota kecil. Luas kotanya hanya 13,58 km2, terdiri dari 3 kecamatan yang terbagi dalam 34 kelurahan. Kecamatan tersebut adalah Bugulkidul, Gadingrejo, dan Purworejo. Jumlah Penduduknya 165.992 jiwa, terdiri dari 81.313 jiwa laki-laki, 84.679 jiwa perempuan. Kepadatan penduduknya tinggi mencapai 12.223 jiwa/km2. Sebagai kota yang padat penduduk, kota ini juga tidak lepas dari masalah sosial yang berat. Jumlah keluarga miskin pada tahun 2006 mencapai 8.512 KK, wanita rawan sosial-ekonomi 567 jiwa. Masalah sosial yang lain selengkapnya bisa dilihat pada data milik Dinas Sosial Propinsi Jatim.
13 September 2008
DAMPAK INTANGIBLE BENCANA LUMPUR LAPINDO
Ini beberapa butir pemikiran penulis beberapa waktu lalu (akhir februari 2007) saat warga perumtas 1 menuntut ganti rugi cash and carry dengan memblokir jalan arteri, rel dan tol. Meskipun terlambat, semoga inti pesan masih relevan.
sudah dipublish di Diskusi Sosial-Ekonomi-Politik HotMudflow
Dampak Bencana lumpur Lapindo semakin luas dan mencakup hal-hal yang selama ini tidak diperkirakan (intangible) sebelumnya. Pemblokiran jalan tol, jalan arteri, dan rel kereta api oleh ribuan warga Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (Perumtas) 1 di kawasan Porong Sidoarjo selama 2 hari, Kamis dan Jum’at beberapa waktu yang lalu, yang mengakibatkan ekonomi jawa timur terguncang, merupakan salah satu contoh paling aktual. Sebagian pengamat memperkirakan kerugian perokonomian Jatim akibat blokade korban lumpur tersebut mencapai 2 trilyun (Produk Domestik Regional Bruto Jatim per hari sekitar 1 trilyun), atau setara dengan seperempat kerugian banjir Jakarta beberapa waktu yang lalu.
Bahkan Ketua Umum PBNU, Hasyim Muzadi sampai perlu mengeluarkan pernyataan bahwa fenomena pemblokiran jalan-jalan utama di Porong termasuk rel kereta api oleh warga korban lumpur Lapindo merupakan luapan frustasi yang hampir puncak. Mereka terombang-ambing tanpa keputusan yang jelas, Hasyim mengingatkan satu fase lagi bisa terjadi kekacauan (chaos). Pemerintah pusat dalam hal ini tidak bisa hanya diam atau membiarkannya. Karena hal itu pasti merusak image pemerintah pusat atau Presiden.
Dalam beberapa kesempatan Lapindo Berantas Inc bahkan bersikukuh tidak mau memberikan ganti rugi. Alasannya, Perumtas 1 yangg terdiri dari 5.361 rumah dan dihuni 14.000 jiwa lebih itu berada di luar wilayah yang direkomendasikan oleh Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo. Pertanyaannya apa betul warga perumtas 1 berbeda kondisinya dengan warga 4 desa lain yang juga menjadi korban lumpur yaitu Desa Siring, Jatirejo, Renokenongo, dan Kedungbendo, sehingga perlakuan pihak Lapindo terhadap mereka berbeda ? atau apakah ini hanya akal-akalan pihak Lapindo untuk mengalihkan tanggung jawab kepada pemerintah ? atau Timnas Penanggulangaan Lumpur Lapindo yang kurang hati-hati dalam memperkirakan dampak lumpur Sidoarjo terhadap permukiman sekitar, sehingga wilayah yang direkomendasikannya terlalu sempit, tidak mencakup wilayah perumtas 1 ?
Dampak Tangible dan Intangible
Tulisan ini berusaha menelusur bencana lumpur Sidoarjo dari segi dampaknya baik yang terukur (tangible) maupun tidak terukur (intangible) untuk menjawab beberapa pertanyaan di atas. Dampak bencana tangible merupakaan dampak bencana yang bisa dihitung dan biasanya dinyatakan dengan terminologi moneter. Dampak tangible dibedakan 2, yaitu langsung (direct) dan tidak langsung (indirect). Dampak langsung yang terkait dengan lumpur Sidoarjo adalah terendamnya rumah warga termasuk terendamnya jalan tol Porong Gempol di sekitar pusat luberan lumpur. Dampak tidak langsung adalah dampak yang terkait dengan matinya atau terganggunya perekonomian akibat luberan lumpur tersebut, seperti hilangnya mata pencaharian penduduk karena sawahnya terendam lumpur, hilangnya pekerjaan penduduk akibat pabriknya terendam, terganggunya aktivitas distribusi barang menuju kota Surabaya akibat jalan tol ditutup dan sebagainya.
Dampak intangible lumpur Lapindo adalah dampak yang sulit diperkirakan dan dihitung dan menyangkut aspek yang lebih luas (sosial dan politik, termasuk psikologi). Pemblokiran warga terhadap beberapa ruas jalan seperti sudah dikemukakan diatas adalah salah satu contohnya. Menurunnya image perusahaan, timnas, gubernur, bahkan presiden seperti diingatkan ketua PBNU ditambah rasa frustasi masyarakat yang bisa berujung pada kekacauan sosial juga contoh dampak intangible lainnya.
Di sini perlu dicermati apa benar Wilayah Perumtas I tidak masuk dalam wilayah yang direkomenasikan Timnas, kalau memang demikian adanya berarti Timnas kurang hati-hati dalam memperkirakan dampak langsung. Kelalaian Timnas tidak bisa dijadikan alasan perusaahaan untuk berkelit dari tanggung jawab memberikan ganti rugi terhadap korban karena bukti bahwa Wilayah Perumtas I terendam lumpur jelas kasat mata (empiris) dan tidak bisa dibantah lagi. Tuntutan ganti rugi yang sama dengan 4 warga desa yanga lain seperti disuarakan warga perumtas 1 adalah wajar dan harus dikabulkan pihak perusahaaan, karena wilayah mereka masih dalam kategori zona dampak langsung luberan lumpur Lapindo.
Penanganan bencana yang profesional semestinya memperhitungkan dampak tangible baik yang langsung maupun tidak langsung, bahkan harus mengantisipasi dampak intangible yang mungkin terjadi. Melihat penanganan bencana lumpur Lapindo yang dilakukan pihak perusahaan dan Timnas selama ini, apa pun kendalanya, masih jauh dari memadai. Jangankan mengantisipasi dampak intangible, dampak tangible langsung saja tidak ditangani secara serius. Indikasinya, Wilayah Perumtas 1 jelas masuk zona dampak langsung luberan lumpur, tetapi pihak Lapindo berkeras tidak mau memberikan ganti rugi dengan alasan seperti sudah disebutkan di atas.
Potensi menjadi Bola Liar
Kekerasan hati pihak perusahan, ditambah mandulnya ketegasan Timnas dan pemerintah daerah serta legislatif (DPRD Sidoarjo dan Jatim) dalam membuat keputusan, jelas-jelas mencederai rasa keadilan masyarakat. Ketidakpastian penyelesaian dan masa depan korban, membuat warga frustasi dan berujung pada tindakan yang tidak diperkirakan sebelumnya (intangible) berupa pemblokiran jalan-jalan utama seperti sudah diungkapkan di atas. Efek dominonya semakin menambah besar dampak kerugian tidak langsung dan kalau dibiarkan terus, seperti diingatkan ketua PBNU, satu fase lagi bisa terjadi kekacauan sosial (social chaos). Di sini berlaku rumus semakin dampak langsung tidak ditangai dengan baik dan profesional, maka dampak tidak langsung dan intangible akan semakin besar dan risiko terjadinya kekacauan sosial dan politik semakin besar pula.
Oleh karenanya semua pihak yang berkepentingan (stake holder) terhadap masalah ini harus sensitif dan secepatnya mengambil tindakan yang menjunjung rasa keadilan masyarakat, khususnya korban. Penanganan dampak lumpur baik yang tangible maupun intangible merupakan agenda paling utama. Karena ke depan masalah Lumpur Sidoarjo akan semakin berisiko mengingat akumulasi permasalahan baik dari sisi lingkungan, ekonomi, sosial maupun politik yang sudah memasuki tahap kritis dan indikasi menjadi bola liar mulai tampak dari aksi pemblokiran jalan kemarin. Semoga semua pihak yang berkepentingan mulai dari PT Lapindo Berantas, Timnas penanggulangan lumpur Sidoarjo, Pemkab Sidoarjo dan Pemprov Jatim, serta legislatif di daerah tersebut termasuk pemerintah pusat, sensitif dengan perkembangan terakhir ini dan secepatnnya mengambil tindakan, sebelum meledak menjadi kerusahan sosial yang tidak diinginkan semua pihak.
HUT KE-261 KOTA SOLO: KEMBALI KE KHITTAH
HARI DAN TAHUN BENCANA NASIONAL
Tulisan ini merupakan refleksi kekhawatiran penulis terhadap sikap kita sebagai bangsa yang mudah lupa meskipun bencana bertubi-tubi mendera kita.Kita selalu kehilangan momentum untuk berubah dan kembali kedodoran ketika bencana terjadi lagi. Penulis menggagas Tahun 2006 sebagai tahun bencana Nasional, dan tanggal 26 Desember sebagai hari bencana nasional. Alasan penetapan tahun dan hari tersebut selengkapnya silakan baca lebih lanjut (ditulis pada 20 Oktober 2006).
Hari Internasional Pengurangan Bencana (International Day for Disaster Reduction) yang diperingati setiap hari Rabu minggu kedua bulan Oktober, tahun ini jatuh pada tanggal 11 Oktober 2006. Hari Internasional Pengurangan Bencana (HIPB) 2006 mengangkat tema “Membangun Ketahanan Sekolah Terhadap Bencana”. Tema ini lahir dari harapan untuk mengurangi risiko bencana melalui pengenalan sejak dini tentang risiko-risiko bencana kepada siswa-siswa sekolah dan bagaimana membangun kesiapsiagaan bencana (disaster preparedness).
HIPB ditetapkan oleh Sidang Umum PBB pada tanggal 22 Desember 1989 melalui resolusi 44/236. HIPB setiap tahunnya diamati selama Dekade Internasional Pengurangan Bencana Alam, mulai tahun 1990 -1999. Pada tahun 2001, Sidang Umum PBB memutuskan untuk mempertahanakan ritual (ceremony) HIPB melalui resolusi 56/195 tanggal 21 Desember, sebagai sarana untuk mempromosikan budaya global pengurangan bencana, meliputi pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan terhadap bencana.
Indonesia harus memperingati HIPB mengingat bencana besar terjadi susul-menyusul mulai tahun 2002 dan mencapai klimaknya tahun 2006. Mulai dari tenggelamnya Ibukota Jakarta pada tahun 2002, banjir bandang bohorok (2003), Tsunami Aceh (2004), Tsunami Nias (2005), dan rentetan bencana besar pada tahun 2006. Awal tahun 2006 dibuka dengan 2 bencana besar yaitu banjir bandang di Kabupaten Jember dan longsor di Banjarnegara (Januari), berikutnya banjir yang menenggelamkan Pantai Utara Pulau Jawa (Februari), banjir bandang yang memporak-porandakan Kota Trenggalek (April), Gempa Yogya (Mei), erupsi Gunung Merapi dan banjir bandang Sinjai (Juni), gempa dan Tsunami Pengandaran (Juli), sampai dengan semburan lumpur panas Sidoarjo dan kebakaran hutan.
Apalagi sebagai bangsa kita seperti kewalahan menangani bencana-bencana tersebut. Pola penanganan bencana baik di tingkat pusat maupun di daerah dan kota masih belum jelas. Indikasinya adalah status suatu bencana apakah masuk kategori bencana daerah atau bencana nasional sering menjadi perdebatan, anggaran bencana yang habis, tarik-menarik kewenangan penanganan bencana, buruknya koordinasi antar sektor dan lambatnya penangan bencana masih selalu terjadi. Penanganan bencana pun masih sebatas tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi, sementara pengurangan risiko bencana melalui upaya pencegahan, mitigasi, dan kesiapsiagaan masih sangat kurang.
Kita bahkan belum memiliki Undang-Undang Penanganan Bencana dan Badan Mitigasi Nasional. Pembahasan RUU Penanganan Bencana yang digulirkan DPR mulai tahun 2005 pun berlarut-larut dan selalu dikalahkan dengan pembahasan RUU yang lain. Momentum selalu hilang dan kita sepertinya tidak pernah mau belajar. Bencana yang terjadi belum cukup signifikan mendorong sebuah upaya besar untuk mengatasinya secara permanen. Sungguh ironis kita terantuk pada batu yang sama berkali-kali, karena krisis tidak pernah dimaknai sebagai peluang untuk berubah.
Memang pemerintah memanfaatkan momentum bencana gempa bumi dan tsunami Aceh dengan menerbitkan Perpres No 83 Tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Nasional (Bakornas) Penanganan Bencana (PB) menggantikan Keppres No 3 Tahun 2001 jo 111/2001 tentang Bakornas Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (PBP). Kebijakan tersebut dimaksudkan untuk merevitalisasi Bakornas PB yang semula berfungsi sebatas sebagai badan kooordinasi berubah menjadi badan koordinasi dan operasional. Permasalahannya meski Perpres sudah terbit dan ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sejak 29 Desember 2005, revitalisasi hanya menjadi "macan kertas". Kegagapan pemerintah dalam menghadapi bencana terus terulang.
Untuk memecah kebuntuan tersebut, salah satunya adalah dengan cara menetapakan Hari dan Tahun Bencana Nasional (HTBN) sebagai sarana untuk membangun kesadaran bersama bahwa bencana yang sama tidak boleh terulang lagi. Sekaligus sebagai momentum perubahan paradigma PB, yang meliputi semua jenis ancaman bencana (multihazards); meliputi keseluruhan aspek bidang kerja PB (comprehensive) dan melibatkan semua pihak (integrated) dengan titik berat pada pengurangan risiko dan kesiapsiagaan bencana. Seperti PBB menetapan HIPB sebelum mencanangkan Dekade Internasional Pengurangan Bencana Alam (International Decade for Natural Disaster Reduction /IDNDR), kita juga perlu mencanangkan HTBN sebagai momentum perubahan PB.
Sebelumnya pada tahun 2005, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penanganan Bencana yang terdiri dari berbagai NGO Nasional, akademisi, organisasi kemasyarakatan, tokoh masyarakat dan NGO internasional di Indonesia, menghimbau Bapak Presiden untuk mencanangkan hari pengurangan risiko bencana setiap hari Rabu minggu kedua bulan Oktober, sesuai dengan ketetapan PBB di atas sebagai momentum untuk pendidikan publik dan perbaikan sistem pengurangan risiko bencana. Himbauan tersebut menggarisbawahi kenyataan bahwa masyarakat Indonesia sungguh hidup dengan berbagai ancaman bencana; sementara Negara dan Pemerintah Indonesia masih jauh dari memenuhi secara memadai mandat konstitusional ”...untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia ...” (Pembukaan UUD 1945 Alinea IV); Di sisi lain kemiskinan yang semakin bertambah, membuat masyarakat kita semakin rentan terhadap dampak bencana.
Melalui forum ini penulis mengusulkan Tahun 2006 sebagai Tahun Bencana Nasional (TBN), sedangkan Tanggal 26 Desember setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Bencana Nasional. Tahun 2006 diusulkan sebagai TBN dengan pertimbangan seluruh tipe bencana yang paling sering terjadi, paling mematikan, paling merusak rumah, paling berdampak luas, dan paling merugikan terjadi secara simultan pada tahun tersebut. Data historis bencana (EM-DAT: The OFDA/CRED International Disaster Database) selama 1 abad (1907-2006), mencatat 3 bencana yang paling sering terjadi (45 - 105 kali) yaitu banjir, gempabumi dan gunung meletus. Tiga besar bencana yang paling mematikan (8000 – 165.708 jiwa) yaitu tsunami, gempabumi, dan letusan gunungapi, sedangkan 3 bencana yang paling merusak rumah (202.405 – 979.700 buah) yaitu gempabumi, tsunami, dan banjir. Bencana yang paling berpengaruh luas (4.894.220 – 5.860.001 jiwa) yaitu banjir, gempa, dan kekeringan, sedangkan bencana yang paling merugikan (3.937 – 17.235 milyar dolar) yaitu kebakaran hutan, tsunami, dan gempabumi.
Sementara tanggal 26 Desember diusulkan sebagai hari bencana nasional dengan pertimbangan pada tanggal tersebut terjadi bencana yang paling mematikan dalam sejarah bencana di Indonesia yaitu Tsunami Aceh pada tahun 2004 yang menewaskan 165.708 Jiwa. Tsunami Aceh bahkan tercatat sebagai gelombang Tsunami yang paling mematikan di dunia. Akhirnya semoga kita termasuk bangsa yang bisa belajar dari sejarah bencana, bukan bangsa bebal yang selalu kehilangan momentum.
KONDISI KERENTANAN MAKSIMUM
TULISAN ini mengajak pemerintah untuk secepatnya mengalihkan fokus penangan bencana dari modifikasi bahaya semburan lumpur yang terbukti "gagal" beralih ke modifikasi kerentanan, karena risiko bencana yang lebih besar sudah di depan mata. Relokasi penduduk, infrastruktur penting (jalan tol, jalan arteri porong, rel ka, pipa gas pertamina, pipa pdam) sudah harus secepatnya dilakukan. Semoga menggugah pihak yang disentil dalam tulisan ini (ditulis pada 3 April 2007).
Judul di atas merupakan himbauan terhadap pemerintah untuk secepatnya mengambil tindakan mengurangi risiko bencana semburan lumpur Sidoarjo dengan mengubah fokus penanganan dari menangani bahaya semburan lumpur yang terbukti “gagal”, beralih menangai kerentanan manusia dan membagi kerugian secara adil. Perkembangan terakhir baik dari sisi sosial-ekonomi maupun lingkungan menempatkan korban pada khususnya dan masyarakat jawa timur pada umumnya, infrastruktur penting (jalan arteri, rel kereta api, pipa PDAM, pipa gas pertamina) pada kondisi kerentanan maksimum (a state of maximum vulnerability).
Satu Fase Lagi Terjadi Malapetaka
Mengapa modifikasi kerentanan saat ini jauh lebih penting dibanding modifikasi bahaya ? Karena di satu sisi, sifat bahaya luapan lumpur baik primer maupun sekunder sulit dikendalikan atau bahkan tak terkontrol sama sekali, sama seperti sifat bahaya erupsi gunungapi (khususnya awan panas) atau tsunami yang tidak bisa dikendalikan. Terbukti 4 skenario penghentian semburan lumpur (bahaya primer) mulai dari snubbing unit, sidetracking, relief well dan insersi bola beton belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Penanganan lumpur di permukaan dengan sistem pananggulan juga tidak mudah, berkali-kali terjadi luberan (overtopping), rembesan maupun tanggul jebol dan kondisi kolam penampungan saat ini sudah penuh. Belum lagi ancaman bahaya sekunder berupa amblesan tanah (land subsidence) yang di luar kendali manusia.
Di sisi lain penanganan kerentanan juga sangat lambat, mulai dari status bencana yang belum jelas, tidak ada anggaran di APBN 2007 untuk penanganan semburan lumpur, belum dipindahaknnya infrastruktur penting yang sudah terpengaruh aktivitas semburan lumpur seperti jalan tol yang sudah ditutup, pipa gas pertamina yang sudah meledak dan menewaskan sejumlah orang dan meskipun sudah dipindah, tetapi sekarang terancam lagi karena masih dalam jarak jangkau luberan lumpur, pipa PDAM yang sering pecah karena amblesan, begitu juga rel kereta api yang sering melengkung karena amblesan bahkan sekarang terendam lumpur, serta jalan arteri porong yang sebagian jalurnya juga sudah terendam lumpur dan ditutup. Korban memang sudah diungsikan dan mendapat uang untuk pemondokan serta jatah makanan, tetapi penyelesaian ganti rugi tidak jelas realisasinya dan bahkan untuk warga Perumtas I, pihak Lapindo bersikeras untuk tidak mau memberi ganti rugi tunai (cash and carry), mereka ditawari relokai plus yang ditolak warga dengan rentetan aksi demontrasi. Dengan demikian kondisi sosial ekonomi masyarakat sudah sangat rentan dan ambang batas kerusakan sudah hampir terlampaui, sehingga terjadinya malapetaka hanya tinggal waktu.
Bencana merupakan interaksi dimanis antara aspek bahaya dan kerentanan. Bencana terjadi saat gejala geofisik (atmosferik, hidrologik, geologik, biologik) maupun man made (teknologik) melampaui kapasistas sosial-ekonomi dan fisiologi penduduk untuk memantulkan (to reflect), menyerap (to absorp) atau menyangga (to buffer) dampaknya. Melihat kondisi di atas baik dari sisi ancaman bahaya baik primer (semburan lumpur) maupun sekunder (amblesan tanah) yang semakin besar, maupun toleransi sosial ekonomi yang sudah di ambang batas untuk memantulkan, menyerap dan menyangga dampak luberan lumpur maka risiko bencana sangat besar dan malapetaka sudah di depan mata jika tidak segera dilakukan penangan secara cepat dan benar.
Penyesuaian terhadap Bencana
Untuk menyesuaikan diri dengan potensi bencana menurut White dan Hass dalam Assessment of research on natural hazards (1975), ada 3 hal yang bisa dilakukan yaitu modifikasi kejadian (modify the event), modifikasi kerentanan manusia (modify human vulnerability), dan membagi kerugian (distribute the losses). Kalau kita mencermati upaya pemerintah lewat Timnas Penanggulangan Semburan Lumpur Sidoarjo selama ini, maka ketiga jenis modifikasi sudah dilakukan tetapi tidak satu pun yang menunjukan hasil yang optimal. Modifikasi kejadian merupakan hal yang paling dominan dilakukan oleh Timnas dibanding 2 modifikasi yang lainnya. Modifikasi kajadian berupa 4 skenario penghentian lumpur boleh dikatakan “gagal”. Modifikasi kerentanan berupa penanggulan juga sudah mencapai tahap kritis karena kolam penampungan sudah penuh dan tanggul sering jebol. Penanganan dampak sosial-ekonomi juga “tidak beres”, seperti tercermin dari penanganan kerugian yang tidak adil dan tidak jelas realisasinya bahkan sekarang cenderung menjadi bola liar yang mengarah menjadi chaos, seperti tercermin dari rentetan demonstrasi, penutupan jalur arteri dan rel kereta api, pembentukan pansus lumpur Sidoarjo oleh DPRD Jawa Timur, dan bahkan kalau pemerintah pusat tidak bertindah cepat bisa menjadi masalah politik yang serius karena pemerintah bisa “divonis” tidak bisa melindungi warganya dari bencana sesuai amanat Undang-Undang Dasar. Kurangnya optimalnya langkah penanganan oleh Pemerintah menjadikan korban dan masyarakat Jawa Timur, serta infrastruktur penting pada kondisi kerentanan maksimum.
Kerentanan total (Total Vulnerability = TV) seperti dirumuskan Alexander dalam Natural Disaster (1993) adalah tindakan yang meningkatkan risiko (Risk Amplification Measures = RAM) dikurangi upaya peredaman risiko (risk mitigation measures = RMM) plus-minus faktor persepsi terhadap risiko (Risk Perception Factors = RPF), atau dalam bahasa matematik ditulis : TV = RAM – RMM ± RPF. Tindakan yang meningkatkan risiko seperti upaya modifikasi kerentanan berupa penanggulan lumpur dalam volume sangat besar di atas 100.000 m3 per hari sudah tidak mampu lagi ditampung oleh kolam penampungan yang disediakan, padahal pembuatan kanal untuk membuang lumpur ke sungai porong dan selanjutnya dibuang ke laut juga belum berhasil. Akibatnya kejadian luberan lumpur (overtopping) melampaui tanggul atau jebolnya tanggul pengaman menjadi masalah laten yang berulang-kali terjadi, kasus terakhir tenggelamnya rel kereta api dan jalan porong. Upaya peredaman risiko seperti yang dilakukan Timnas berupa modifikasi kejadian berupa 4 skenario seperti sudah disebut di atas juga “tidak berhasil”. Lebih parah lagi, persepsi pemerintah terhadap risiko juga tidak tepat, tercermin dari lambannya pemerintah menetapkan status bencana serta tidak adanya alokasi anggaran untuk penanganan bencana lumpur dalam APBN 2007.
Di sini pemerintah terjebak pada logika menunggu status bencana jelas dulu, sehingga siapa yang bertanggung jawab juga menjadi jelas, apakah pihak Lapindo atau pemerintah. Logika seperti ini semestinya tidak dilakukan pemerintah karena tugas pemerintah adalah melindungi segenap warganya termasuk dari ancaman bencana, mengingat di lapangan bencana betul-betul sudah menyengsarakan rakyat dan dampak bencana juga membahayakan perekonomian jawa timur. Masalah tanggung jawab pihak Lapindo jika terbukti bersalah bisa diurus belakangan setelah penanganan bencana di lapangan dilakukan. Oleh karenanya, debat berkepanjangan mengenai penyebab luapan lumpur apakah man made disaster (kesalahan prosedur pengeboran), gejala alam (mud volcano), atau gabungan keduanya sudah saatnya dihentikan, biarlah itu menjadi urusan pihak penyidik.
Melihat kondisi kerentanan yang sudah mencapai tahap maksimum dan dampak sosial ekonomi yang sangat besar, langkah yang harus secepatnya dilakukan pemerintah adalah mengambil terobosan kebijakan dengan secepatnya menetapkan semburan lumpur Sidoarjo sebagai bencana nasional dan menyiapkan dana talangan untuk menangani bencana tersebut dengan lebih memfokuskan penanganan kerentanan dibandingkan penanganan bahaya yang terbukti “gagal”. Pemerintah secepatnya merelokasi penduduk dan infrastruktur penting pada jarak yang aman, sebelum terlambat dan menjadi malapetaka besar.