13 September 2008

BERKACA PADA GUNUNG MERAPI : REFLEKSI LETUSAN KELUD




Tulisan dengan judul ”BERKACA PADA GUNUNG MERAPI” mencoba melihat fenomena meningkatnya aktivitas G. Kelud secara lebih proporsional dengan membandingkannya dengan letusan di G. Merapi. Berbeda dengan letusan G. Merapi yang mendapat sorotan luas, ”letusan G. Kelud” jauh dari pemberitaan ramai. Padahal dari sisi bencana, letusan G. Kelud lebih dahsyat, karena setiap terjadi letusan, selalu terjadi bencana. Tidak demikian halnya dengan letusan G. Merapi. Memang aspek bahaya cenderung menurun dengan berhasil dikendalikannya lahar letusan melalui rekayasa terowongan, tetapi seperti di kebanyakan gunungapi lain, aspek kerentanan bencana justru meningkat. Kalau tidak ditangani secara bijak, maka bencana sudah didepan mata (ditulis pada 7 Oktober 2007).


Lebih Dahsyat

Selama abad 20, Gunung Kelud meletus 5 kali yaitu pada tahun 1901, 1919, 1951, 1966, dan 1990. Setiap kali terjadi letusan selalu terjadi bencana. Sementara pada abad yang sama, Gunung Merapi meletus 23 kali, kurang lebih sepertiganya (8 kali) menimbulkan bencana. Sisanya merupakan letusan kecil yang tidak sampai menjangkau permukiman penduduk, sehingga tidak sampai menimbulkan korban jiwa.  Sebagai perbandingan akan dilihat letusan terbesar pada abad 20, yang terjadi di 2 gunungapi tersebut.

Letusan tahun 1919 menimbulkan bencana terbesar di G. Kelud. Saat itu 5.160 jiwa menjadi korban, 104 desa rusak berat, 20.200 bau (5.050 hektar) sawah, tegal, pekarangan dan perkebunan rusak, serta 1.571 ekor binatang mati. Sementara di G. Merapi, letusan 1930 merupakan letusan terbesar, memakan korban 1.369 jiwa, 13 kampung hancur, 23 kampung rusak sebagian, 1.109 rumah hancur, dan 2140 ternak mati. Kalau dibandingkan, meskipun G. Kelud lebih jarang meletus dibandingkan G. Merapi, tetapi bencana yang ditimbulkannya lebih dahsyat. Pertanyaannya apakah letusan G. Kelud lebih berbahaya dibanding dengan letusan di G. Merapi, sehingga setiap kali terjadi letusan selalu terjadi bencana? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu dilihat aspek bahaya letusan dan kerentanan penduduk di 2 kawasan gunungapi tersebut.

Bahaya Cenderung Menurun

          Aspek bahaya sebuah gunungapi tercermin dari besarnya letusan, biasanya dinyatakan dengan Indeks Letusan Gunungapi  (Volcanic Explosivity Index), disingkat VEI. Nilai VEI didasarkan pada volume total produk erupsi, ketinggian awan letusan, dan besarnya energi yang dikeluarkan (Newhall, et al., 1982). Indeks Letusan Gunungapi  memiliki skala 0-8, semakin tinggi skala berarti semakin besar letusannya. Mayoritas letusan G. Merapi pada abad 20, memiliki nilai VEI 2, sementara letusan G. Kelud kebanyakan memiliki nilai VEI 4. Dengan demikian letusan di G. Kelud lebih besar dibandingkan letusan di G. Merapi atau dengan kata lain letusan G. Kelud lebih berbahaya dibandingkan letusan G. Merapi. 

Bahaya primer di G. Merapi yang paling ditakuti adalah awan panas dan masyarakat setempat menamakannya wedhus gembel karena saat menuruni lereng, awan panas tampak seperti arak-arakan wedhus gembel. Sementara bahaya primer di G. Kelud yang paling ditakutkan adalah lahar letusan. Lahar letusan terbentuk karena di puncak G. Kelud terdapat danau kawah dengan volume air puluhan juta m3. Lahar letusan pada tahun 1919 berakibat sangat fatal seperti sudah dideskripsikan di atas. Sebelum letusan, volume air danau kawah saat itu mencapai 40 juta m3, air sejumlah itu terlempar keluar kawah pada saat letusan. Aliran lahar yang merupakan campuran dari air panas, lumpur, pasir, dan batu-batuan memasuki kota Blitar menciptakan kehancuran yang hebat. Kecepatan lahar yang mengalir di kota Blitar sekitar 65 km/jam. Jarak maksimum aliran lahar primer mencapai 37,5 km dari puncak.

Bencana letusan 1919 memberikan pelajaran bagi pemerintah saat itu untuk mengurangi volume air yang ada di danau kawah. Mulai tahun 1920 dibangun terowongan pembuangan air kawah menuju arah Barat, untuk mengalirkan air danau kawah ke Kali Badak. Dengan adanya terowongan tersebut, volume air tersisa di danau kawah hanya sebesar 1,8 juta m3. Pengendalian volume air danau kawah ternyata mampu meredam terjadinya lahar letusan, seperti terbukti pada letusan 1951 dan 1990.  Dengan demikian ancaman paling menakutkan sudah dapat dikendalikan. Ancaman lain yang perlu mendapat perhatian adalah endapan freatik dan freatomagmatik yang lembab dan basah. Endapan tersebut dapat mengakibatkan runtuhnya atap bangunan. Kejadian seperti ini menjadi penyebab tewasnya 32 orang yang berlindung di dalam gudang sebuah pabrik kopi dalam radius 10 km dari puncak pada letusan 1990. Ancaman lainnya adalah awan panas yang bisa mencapai radius 5 – 10 km dari puncak.

 Kerentanan Penduduk Meningkat

          Setelah memahami aspek ancaman bahaya perlu dikaji pula aspek kerentanan penduduk di lereng gunungapi tersebut, karena bencana hanya terjadi saat kerentanan penduduk meningkat.  Penelitian penulis di G. Merapi menemukan paradoks bahwa meskipun ancaman bahaya menurun ditandai besar letusan yang semakin menurun dari abad 19 sampai dengan abad 20, tetapi anehnya bencana semakin sering terjadi.

Pada abad 19 dengan letusan yang lebih besar, bencana terjadi 4 kali, sebaliknya pada abad 20 meskipun letusannya lebih kecil ternyata bencana yang terjadi 2 kali lipatnya (8 kali). Dengan demikian bukan ancaman bahaya G. Merapi yang meningkat, tetapi penduduk semakin rentan terhadap bencana. Penduduk semakin rentan karena penduduk yang menghuni Kawasan Rawan Bencana (KRB) semakin banyak, bahkan tingkat pertumbuhan penduduk di lereng atas lebih besar dibanding lereng bawahnya. Disamping itu ada permukiman yang hanya berjarak 3 km dari puncak. Bagaimana dengan kondisi kerentanan penduduk di lereng G. Kelud? Apakah meningkat pula ?

          Pemkab Blitar mencatat, ada sekitar 251.630 jiwa, yang berdomisili di KRB G. Kelud. Jumlah penduduk tersebut belum termasuk penduduk Kota Blitar yang dulu juga terpengaruh letusan 1919. Padahal jumlah seluruh penduduk kab. Blitar baik di KRB maupun di luar KRB pada tahun 1917 sebanyak 349.000 jiwa (Encyclopedie van Nederlandsch-Indie, Surya, 4-10-07). Artinya tingkat pertumbuhan penduduk di KRB sangat tinggi. Dengan demikian tingkat kerentanan penduduk juga meningkat dan bila tidak ditangani secara bijak, bencana sudah di depan mata.  Apalagi ada fakta sejarah bahwa bencana selalu terjadi saat G. Kelud meletus.

          Sayangnya masyarakat di KRB masih diperlakukan sebagai obyek dalam manajemen bencana, bukan sebagai subyek yang diberdayakan seperti tercermin dari simulasi evakuasi yang khusus dilakukan untuk petugas dari pemda. Dan lebih tragis lagi Pemkab Kendiri masih menggunakan paradigma lama penanganan bencana, tercermin dari dana bencana hanya bisa turun kalau bencana sudah terjadi. Padahal seperti diamanatkan UU No. 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana pasal 8 ayat 4, pemerintah daerah berkewajiban untuk mengalokasian dana penanggulangan bencana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) secara memadai, sehingga penanganan bencana mulai dari sebelum, saat dan sesudah kejadian bisa berjalan dengan baik, tidak seperti sekarang, kedodoran.

          Dari sejarah letusan, Kab. Kediri paling berisiko terhadap letusan G. Kelud dibanding Kab. Kediri dan Malang. Saat ini yang perlu mendapat perhatian adalah penduduk pada Ring 2 yang terletak pada radius 5 sampai 7 kilometer dari puncak,sebanyak 90.642 jiwa, tersebar di 3 Kecamatan, meliputi Kec. Nglegok, Garum, dan Gandusari (belum termasuk Kab. Kediri). Wilayah ini masuk dalam zone paling rawan karena jika G. Kelud meletus, zone tersebut akan terkena langsung endapan letusan freatik dan freatomagmatik, awan panas, batu dan abu. Mereka harus diberdayakan bukan dijadikan obyek penanggulangan bencana. Dan pendekatan manajemen risko bencana berbasis masyarakat harus dikedepankan. 

Tidak ada komentar: