13 September 2008

DAMPAK INTANGIBLE BENCANA LUMPUR LAPINDO




Ini beberapa butir pemikiran penulis beberapa waktu lalu (akhir februari 2007) saat warga perumtas 1 menuntut ganti rugi cash and carry dengan memblokir jalan arteri, rel dan tol. Meskipun terlambat, semoga inti pesan masih relevan.
sudah dipublish di Diskusi Sosial-Ekonomi-Politik HotMudflow


Dampak Bencana lumpur Lapindo semakin luas dan mencakup hal-hal yang selama ini tidak diperkirakan (intangible) sebelumnya. Pemblokiran jalan tol, jalan arteri, dan rel kereta api oleh ribuan warga Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (Perumtas) 1 di kawasan Porong Sidoarjo selama 2 hari, Kamis dan Jum’at beberapa waktu yang lalu, yang mengakibatkan ekonomi jawa timur terguncang, merupakan salah satu contoh paling aktual. Sebagian pengamat memperkirakan kerugian perokonomian Jatim akibat blokade korban lumpur tersebut mencapai 2 trilyun (Produk Domestik Regional Bruto Jatim per hari sekitar 1 trilyun), atau setara dengan seperempat kerugian banjir Jakarta beberapa waktu yang lalu.
Bahkan Ketua Umum PBNU, Hasyim Muzadi sampai perlu mengeluarkan pernyataan bahwa fenomena pemblokiran jalan-jalan utama di Porong termasuk rel kereta api oleh warga korban lumpur Lapindo merupakan luapan frustasi yang hampir puncak. Mereka terombang-ambing tanpa keputusan yang jelas, Hasyim mengingatkan satu fase lagi bisa terjadi kekacauan (chaos). Pemerintah pusat dalam hal ini tidak bisa hanya diam atau membiarkannya. Karena hal itu pasti merusak image pemerintah pusat atau Presiden.
Dalam beberapa kesempatan Lapindo Berantas Inc bahkan bersikukuh tidak mau memberikan ganti rugi. Alasannya, Perumtas 1 yangg terdiri dari 5.361 rumah dan dihuni 14.000 jiwa lebih itu berada di luar wilayah yang direkomendasikan oleh Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo. Pertanyaannya apa betul warga perumtas 1 berbeda kondisinya dengan warga 4 desa lain yang juga menjadi korban lumpur yaitu Desa Siring, Jatirejo, Renokenongo, dan Kedungbendo, sehingga perlakuan pihak Lapindo terhadap mereka berbeda ? atau apakah ini hanya akal-akalan pihak Lapindo untuk mengalihkan tanggung jawab kepada pemerintah ? atau Timnas Penanggulangaan Lumpur Lapindo yang kurang hati-hati dalam memperkirakan dampak lumpur Sidoarjo terhadap permukiman sekitar, sehingga wilayah yang direkomendasikannya terlalu sempit, tidak mencakup wilayah perumtas 1 ?

Dampak Tangible dan Intangible
Tulisan ini berusaha menelusur bencana lumpur Sidoarjo dari segi dampaknya baik yang terukur (tangible) maupun tidak terukur (intangible) untuk menjawab beberapa pertanyaan di atas. Dampak bencana tangible merupakaan dampak bencana yang bisa dihitung dan biasanya dinyatakan dengan terminologi moneter. Dampak tangible dibedakan 2, yaitu langsung (direct) dan tidak langsung (indirect). Dampak langsung yang terkait dengan lumpur Sidoarjo adalah terendamnya rumah warga termasuk terendamnya jalan tol Porong Gempol di sekitar pusat luberan lumpur. Dampak tidak langsung adalah dampak yang terkait dengan matinya atau terganggunya perekonomian akibat luberan lumpur tersebut, seperti hilangnya mata pencaharian penduduk karena sawahnya terendam lumpur, hilangnya pekerjaan penduduk akibat pabriknya terendam, terganggunya aktivitas distribusi barang menuju kota Surabaya akibat jalan tol ditutup dan sebagainya.
Dampak intangible lumpur Lapindo adalah dampak yang sulit diperkirakan dan dihitung dan menyangkut aspek yang lebih luas (sosial dan politik, termasuk psikologi). Pemblokiran warga terhadap beberapa ruas jalan seperti sudah dikemukakan diatas adalah salah satu contohnya. Menurunnya image perusahaan, timnas, gubernur, bahkan presiden seperti diingatkan ketua PBNU ditambah rasa frustasi masyarakat yang bisa berujung pada kekacauan sosial juga contoh dampak intangible lainnya.
Di sini perlu dicermati apa benar Wilayah Perumtas I tidak masuk dalam wilayah yang direkomenasikan Timnas, kalau memang demikian adanya berarti Timnas kurang hati-hati dalam memperkirakan dampak langsung. Kelalaian Timnas tidak bisa dijadikan alasan perusaahaan untuk berkelit dari tanggung jawab memberikan ganti rugi terhadap korban karena bukti bahwa Wilayah Perumtas I terendam lumpur jelas kasat mata (empiris) dan tidak bisa dibantah lagi. Tuntutan ganti rugi yang sama dengan 4 warga desa yanga lain seperti disuarakan warga perumtas 1 adalah wajar dan harus dikabulkan pihak perusahaaan, karena wilayah mereka masih dalam kategori zona dampak langsung luberan lumpur Lapindo.
Penanganan bencana yang profesional semestinya memperhitungkan dampak tangible baik yang langsung maupun tidak langsung, bahkan harus mengantisipasi dampak intangible yang mungkin terjadi. Melihat penanganan bencana lumpur Lapindo yang dilakukan pihak perusahaan dan Timnas selama ini, apa pun kendalanya, masih jauh dari memadai. Jangankan mengantisipasi dampak intangible, dampak tangible langsung saja tidak ditangani secara serius. Indikasinya, Wilayah Perumtas 1 jelas masuk zona dampak langsung luberan lumpur, tetapi pihak Lapindo berkeras tidak mau memberikan ganti rugi dengan alasan seperti sudah disebutkan di atas.

Potensi menjadi Bola Liar
Kekerasan hati pihak perusahan, ditambah mandulnya ketegasan Timnas dan pemerintah daerah serta legislatif (DPRD Sidoarjo dan Jatim) dalam membuat keputusan, jelas-jelas mencederai rasa keadilan masyarakat. Ketidakpastian penyelesaian dan masa depan korban, membuat warga frustasi dan berujung pada tindakan yang tidak diperkirakan sebelumnya (intangible) berupa pemblokiran jalan-jalan utama seperti sudah diungkapkan di atas. Efek dominonya semakin menambah besar dampak kerugian tidak langsung dan kalau dibiarkan terus, seperti diingatkan ketua PBNU, satu fase lagi bisa terjadi kekacauan sosial (social chaos). Di sini berlaku rumus semakin dampak langsung tidak ditangai dengan baik dan profesional, maka dampak tidak langsung dan intangible akan semakin besar dan risiko terjadinya kekacauan sosial dan politik semakin besar pula.
Oleh karenanya semua pihak yang berkepentingan (stake holder) terhadap masalah ini harus sensitif dan secepatnya mengambil tindakan yang menjunjung rasa keadilan masyarakat, khususnya korban. Penanganan dampak lumpur baik yang tangible maupun intangible merupakan agenda paling utama. Karena ke depan masalah Lumpur Sidoarjo akan semakin berisiko mengingat akumulasi permasalahan baik dari sisi lingkungan, ekonomi, sosial maupun politik yang sudah memasuki tahap kritis dan indikasi menjadi bola liar mulai tampak dari aksi pemblokiran jalan kemarin. Semoga semua pihak yang berkepentingan mulai dari PT Lapindo Berantas, Timnas penanggulangan lumpur Sidoarjo, Pemkab Sidoarjo dan Pemprov Jatim, serta legislatif di daerah tersebut termasuk pemerintah pusat, sensitif dengan perkembangan terakhir ini dan secepatnnya mengambil tindakan, sebelum meledak menjadi kerusahan sosial yang tidak diinginkan semua pihak.

Tidak ada komentar: