13 September 2008

CLEAN AND GREEN CITY




Tulisan  ini merupakan bentuk apresiasi penulis kepada seluruh stakeholder kota yang telah berjuang dengan penuh semangat membawa Surabaya menjadi Clean and Green City. Dimulai dari sejarah kota ini yang pernah dikepung sampah pada tahun 2001 sampai dengan banjir penghargaan di bidang pengelolaan lingkungan mulai dari Adipura, Kalpataru, Adiwiyata, sampai dengan Award dari PBB. Semoga ke depan berbekal kesuksesan mengelola sampah dan Ruang Terbuka Hijau dengan metode kemitraan dan partisipasi, kota ini akan berhasil pula dalam mengelola masalah lingkungan yang lain (ditulis 5 september 2007).

Lingkungan Menurun

Kota Surabaya tidak lepas dari sinyalemen Collin dalam  America’s Downtowns: Growth, Politics and Preservation” bahwa kebanyakan kota menghadapi permasalahan menurunnya kualitas  lingkungan perkotaan (the decay of the urban environment) seperti kemacetan (congestion), polusi air dan udara (water and air pollution), menurunnya kualitas permukiman dan lahan yang diterlantarkan (deterioration of housing and derelict land) serta hilangnya fungsi ruang terbuka (the disappearance of useful open space). Setiap hari Jalan Ahmad Yani, misalnya, dipadati kendaraan yang meluncur ke tengah kota pada pagi hari dan sebaliknya di sore hari. Selama Tahun 2006 hanya 26 hari masyarakat kota ini menikmati udara baik, sebagian besar (334 hari) kondisi udara sedang, dan 5 hari kondisi udara tidak sehat. Kualitas air tak kalah buruknya, dari 331 sampel air sumur yang diambil pemkot, 231 sampel (69%) di antaranya belum memenuhi baku mutu air. Belum masalah banjir yang setiap musim hujan selalu terjadi.

Fenomena rumah kumuh (slums) pada daerah bantaran kali, bantaran rel kereta api, serta maraknya penggunaan jalur pedestrian dan ruang publik untuk tempat usaha Pedagang Kali Lima (PKL) juga terjadi. Begitu juga beberapa bangunan kuno bersejarah di beberapa sudut kota terlantar. Hingga akhir 2006 Surabaya hanya memiliki 269,13 hektar Ruang Terbuka Hijau (RTH) atau sekitar 0,8 persen dari luas kota. ”Politik Sampah” pada tahun 2001 bahkan mewarnai roda pemerintahan kota ini yang berujung pada penggantian wali kota.

Saat itu sampah menumpuk sampai tiga minggu di seluruh bagian wilayah Kota Surabaya. Apa pasal? Warga sekitar menutup Lokasi Pembuangan Akhir (LPA) Sampah Keputih yang jadi muara sampah kota. Sementara penggantinya, LPA Benowo, masih dalam tahap penggarapan. Akibatnya, bau menyengat ke mana-mana. Padahal saat itu setiap hari rata-rata Kota Surabaya menghasilkan  8.800 meter kubik sampah, sekitar 70 persennya adalah sampah organik yang menjadi sumber bau menyengat tersebut. Jadi, dalam tiga minggu yang membuat warga marah, tak kurang dari 168.000 meter kubik atau 42.000 ton sampah yang tak terangkut ke LPA. Sampah yang menumpuk ternyata dapat menggerakkan warga menyerang wali kotanya. Kemarahan warga ditanggapi oleh DPRD Surabaya yang berujung dengan penggantian walikota.

 

Banyak Pujian

Belajar dari kesalahan pendahulunya, walikota baru sangat memperhatikan pengelolaan lingkungan khususnya masalah sampah dan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Kota ini mulai tahun 2002 sudah memiliki peraturan daerah (perda) tentang pengelolaan ruang terbuka hijau (Perda No. 7 Tahun 2002). Pada tahun yang sama kota ini juga menjalin kerjasama dengan Kota Kitakyushu, sebuah kota di Jepang yang berhasil merubah dirinya dari grey city menjadi green city dan menjadi inspirasi dunia dalam hal pengelolaan lingkungan kota. Kemitraan dengan dunia usaha (PT Unilever) dan masyarakat pun digelar khususnya program penghijaun dan pengelolaan sampah rumah tangga secara mandiri. Mulai tahun 2005 program kemitraan tersebut menggunakan slogan Surabaya Green & Clean (SGC).

Kerja keras pemkot bersama seluruh warga kota selama 5 tahun akhirnya membuahkan hasil mulai tahun 2006 dengan diterimanya kembali Adipura. Kota Surabaya di usia ke-714, kembali mendapat Kado Istimewa di Bidang Kebersihan dan Lingkungan Hidup tersebut yakni Adipura 2007 untuk kategori Kota Metropolitan. Selain Adipura, salah satu warga kota yang bernama Sudarno,ST juga meraih penghargaan Kalpataru untuk katagori Pengabdi Lingkungan.  Penghargaan di bidang lingkungan yang diterima semakin lengkap karena SD Kristen Santa Theresia juga meraih Penghargaan Adiwiyata untuk kategori sekolah yang berwawasan lingkungan.

Tidak hanya pemerintah pusat yang salut terhadap kebersihan dan pengelolaan lingkungan Kota Surabaya sehingga membuahkan piala Adipura. Dunia juga angkat topi atas kerja keras warga Kota Surabaya. Organisasi dunia bidang lingkungan PBB menganugerahi award of excellent bidang pengelolaan lingkungan.
Surabaya memang tidak sebersih Singapura. Namun semangat untuk menjadi kota yang bersih dan nyaman dengan melibatkan partisipasi masyarakat, dinilai tidak ada yang menandingi. Singapura sendiri belum mampu mencontoh hingar-bingarnya partisipasi yang membuahkan penghargaan PBB bidang lingkungan untuk Asia Pasific itu. Hanya sebuah kota kecil di Thailand (Nonthaburi City) yang sanggup menyamai Surabaya sehingga mendapat penghargaan serupa.

 

Kemitraan dan Partisipasi

Kemitraan dan partisipasi seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) kota dalam mengelola sampah dan lingkungan menjadi lebih hijau mulai dari masyarakat, pemkot, dunia usaha, pers, LSM, akademisi,  dan kerja sama internasional khususnya dengan KITA (Kitakyushu International Techno-Cooperative Association) merupakan kunci kemenangan Kota Surabaya. Peran masyarakat terlihat dari pengelolaan sampah mandiri yang telah menjadi demam di sudut-sudut kota. Saat ini di setiap kampung, para pemuda dan ibu-ibu rumah tangga berlomba menjadi yang terbaik dalam mengelola sampah. Kampung yang semakin sedikit menyetor sampah ke Lokasi Pembuangan Akhir (LPA) dan mampu menyulap sampah menjadi sebanyak mungkin uang adalah impian. Pola pengelolaan sampah yang bersumber dari rumah tangga dipilah berdasarkan jenisnya, kemudian diolah di sebuah zona modulasi melalui kegiatan pengomposan (komposting) atau kegiatan daur ulang lainnya, telah menjadi gerakan yang masif.

Peran akademisi juga sangat menonjol, diantaranya Pusat Pemberdayaan Komunitas Perkotaan (Pusdakota) Universitas Surabaya. Pusdakota bertanggung jawab dalam proses penelitian, konstruksi, konsultasi, advokasi dan pelatihan pengelolaan kompos sampah. Peran lembaga internasional juga penting, KITA Japan terlibat dan bertanggung jawab dalam pendanaan, proses penelitian, dan konsultasi teknologi. Peran Pemkot khususnya Dinas Kebersihan adalah mendanai pembangunan lokasi yang akan dijadikan tempat untuk mengelola sampah dan menyediakan sumber daya manusia yang nantinya akan menjadi pengelola. Sementara peran swasta dan pers (diantaranya Unilever, Jawa Pos dan Radar Surabaya) membantu publikasi dan menyediakan hadiah lomba, sebagai bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility).

 “Inilah mungkin yang dihargai, gerakan bersama mengelola sampah,” seperti dikatakan Risma, Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya. Dalam 5 tahun kemitraan strategis tersebut telah menghasilkan beberapa solusi lingkungan, salah satunya adalah volume sampah kota Surabaya berkurang. Tahun 2004 volume sampah mencapai 264.000 meter kubik per bulan, pada tahun 2005 menjadi 261.000 meter kubik, tahun 2006 volume sampah tinggal 161.000 meter kubik per bulan. Surabaya berhasil mengelola sampah dari hulu (rumah tangga) yang berakibat pengurangan  sampai di hilir (LPA). Begitu juga paradigma masyarakat terhadap sampah juga mulai berubah, sampah bukan hanya barang buangan yang tidak berharga, justru sebaliknya sampah bisa menjadi berkah dan bernilai secara ekonomis. Pasca penghargaan PBB, Surabaya bakal menjadi rujukan studi banding komposting sampah dari Asia Pasific. Belum lama berselang tim Pansus RUU Sampah DPR pun melakukan studi banding di kota ini.

Surabaya bisa menjadi inspirasi kota lain yang masih bermasalah dengan pengelolaan sampah dan RTH. Meskipun demikian Surabaya jangan puas dulu karena tantangan di bidang lingkungan masih banyak, seperti bagaimana mengelola limbah cair, mengendalikan banjir, mengurangi pencemaran udara, mengurangi kemacetan, mengelola sektor informal, dan revitalisasi bangunan kuno agar lingkungan kota Surabaya menjadi semakin baik. Ke depannya diharapkan Surabaya bisa lepas dari sinyalemen Collins seperti disebut di awal tulisan ini yakni lingkungan kota cenderung akan menurun. Justru sebaliknya Surabaya bisa mentransformasi dirinya menjadi clean and green city seperti Kota Kitakyushu di Japan. 

Tidak ada komentar: