13 September 2008

QUO VADIS RUANG TERBUKA KOTA SOLO ?





Tulisan ini pernah dimuat di Suara Merdeka pada akhir tahun 2003.

Kota Surakarta penuh dengan paradoks, di satu sisi Kota ini mendapatkan predikat sebagai kota bersih dan hijau (clean and green city) sehingga mendapat tropi Bangun Praja (Good Environmental Governance) dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) pada tahun 2003, di sisi lain ruang publik termasuk ruang terbuka yang ada berkurang fungsi atau bahkan digantikan menjadi fungsi lain khusususnya fungsi ekonomi, baik dimanfaatkan PKL sebagai tempat usahanya maupun pihak swasta untuk membangun mal, isu terakhir pembangunan mal Tipes yang menggunakan lapangan olah raga. Padahal Kota Surakarta sampai tahun 2013 mendatang ditetapkan dan ditegaskan dalam RUTRK 1993-2013 menjadi kota pariwisata, budaya dan olah raga, sehingga fasilitas-fasiltas yang mendukung fungsi-fungsi tersebut mestinya dipertahankan.

Ruang tidak dapat dipisahkan dari manusia baik secara psikologis, emosional maupun dimensional. Manusia berada dalam ruang, bergerak, menghayati, berfikir, dan membuat ruang untuk menciptakan dunianya. Ruang terbuka memiliki fungsi umum sebagai tempat bermain dan berolahraga, tempat bersantai, tempat komunikasi sosial, tempat peralihan, tempat menunggu, tempat untuk mendapatkan udara segar, sarana penghubung antara suatu tempat dengan tempat lainnya, dan pembatas atau jarak di antara massa bangunan. Ruang terbuka juga memiliki fungsi ekologis sebagai penyegaran udara, menyerap air hujan, pengendalian banjir, memelihara ekosistem tertentu dan pelembut arsitektur ruangan.

Ruang terbuka mempunyai nilai yang sangat penting. Ruang terbuka merupakan pelengkap dan pengontras bentuk kota. Ruang terbuka juga merupakan elemen fisik kota yang dapat menciptakan kenikmatan kota. Ruang terbuka yang bentuk dan ukurannya mencarai 30% - 50% dari luas seluruh kota merupakan determinan utama bentuk kota. Ruang terbuka mengangkat nilai kemanusiaan, karena di dalam raung terbuka ini berbagai manusia dengan berbagai aktivitas bertemu.

Collin dalam America’s Downtowns: Growth, Politics and Preservation” mensinyalir bahwa kebanyakan kota menghadapi permasalahan menurunnya kualitas lingkungan perkotaan (the decay of the urban environment) yang ditandai kesumpekan (congestion), polusi air dan udara (water and air pollution), menurunnya kualitas permukiman dan lahan (deterioration of housing and derelict land) serta tidak berfungsinya ruang terbuka (the disappearance of useful open space). Inilah yang sekarang terjadi di Kota Surakarta, sehingga muncul fenomena daerah slums pada daerah bantaran kali, bantaran rel kereta api, serta maraknya penggunan jalur pedestrian dan ruang publik untuk tempat usaha PKL. Sementara kita juga melihat gerakan counter terhadap fenomena tersebut, seperti gerakan Solo Ijo Royo-Royo untuk mengembalikan fungsi taman kota dan ruang terbuka lainnya, termasuk penertiban PKL beberapa waktu lalu.

Di sisi lain seiring dengan pulihnya perekonomian Kota Solo tercermin dari pulihnya kembali wajah kota Solo dengan segala sarana dan prasarana ekonominya yang 5 tahun lalu boleh dikatakan lumpuh akibat kerusuhan sosial pada tahun 1998. Kerugian material hampir mencapai setengah trilyun ditandai laju PDRB sempat turun sampai -13%, tetapi mulai tahun 2000 ekonomi mulai menggeliat bahkan laju PDRB pada tahun 2002 sudah mencapai 5,4% diatas rata-rata nasional. Investor mulai berani menanamkan modalnya ke Kota Solo tercermin dari berdiri dan dibangunnya beberapa pusat perbelanjaan, pusat hiburan, dan hotel di beberapa sudut Kota. Sektor properti pun mulai menggeliat.

Kota Solo memasuki fase yang sangat menarik ketika semua aktor dalam sejarah perkembangannya dari masa lalu sampai sekarang “muncul” dan memberi warna untuk membangun kota Solo. Revitalisasi Alut-Alkid merupakan representaasi dari pihak keraton untuk menunjukan perannya kembali seperti di masa lalu. Beroperasinya Hailai dan pembangunan Solo Grand Mall mewakili aktor investor yang siap menghidupkan perekonomian Kota Solo. Lampunisasi, pemugaran beberapa stadion dan lapangan olahraga, penghijauan Kota menunjukkan peran pemkot dalam pembangunan kota. Pasar tiban Klitikan, penggusuran kuburan, bantaran kali, bantaran rel kereta api untuk permukiman rakyat mewakili unsur rakyat kecil. Pertanyaanya adalah bagaimana mengatur ruang kota yang serba terbatas agar peran dari masing-masing stakeholder kota tidak saling berbenturan dan berujung pada konflik sosial. Lebih spesifik dalam tulisan ini akan disoroti bagaimana mengakomodir sektor privat untuk memacu pertumbuhan ekonomi kota di satu sisi, di sisi lain bagaimana ruang terbuka yang ada dipertahankan sehingga terjadi keseimbangan antara ekonomi dan ekologi dan jati diri kota sebagai kota budaya, pariwisata dan olah raga tetap eksis.

Alokasi Ruang dalam RUTRK dan Penggunaan Lahan 2002

Analisis data penggunaan lahan pada Rencana Umum Tata Ruang Kota 1993-2013 dan data Kondisi Geografis Kota Surakarta tahun 2002 menunjukkkan bahwa penggunaan Lahan di Kota Solo didominasi oleh Permukiman mencapai 62% pada tahun 2002, meningkat 5% dibanding tahun 1992 sebesar 57%. Penggunaan lahan yang bersifat kekotaan (PL Urban) seperti jasa, perusahaan, dan industri menempati urutan kedua sebesar 18% pada tahun 2002 (BPS, 2003), meningkat 2% dibanding tahun 1992 sebesar 16%. Sementara penggunaan lahan untuk ruang terbuka termasuk sawah, tegalan, tanah kosong, dan kuburan disamping taman kota dan lapangan olah raga mengalami penurunan sebesar 4% dari 13% pada tahun 1992 menjadi 9% pada tahun 2002.

Kalau dibandingkan dengan alokasi rencana penggunaan ruang kota 1993-2013, maka luas penggunaan lahan untuk permukiman sudah melampaui 2% dari ambang batas sebesar 60%. Penggunaan lahan yang bersifat kekotaan masih bisa ditingkatkan 2% lagi sampai ambang batasnya sebesar 20%. Yang menarik ternyata RUTRK 1993-2013 hanya mematok 6% untuk ruang terbuka sudah termasuk fasilitas oleh raga dan wisata, sehingga ruang terbuka yang ada sebesar 9% masih lebih dari cukup. Dengan kata lain boleh saja dikurangi maksimal 3% lagi dari luas ruang terbuka yang masih ada.

Bila dilihat per kecamatan maka luas ruang terbuka berkisar antara 2 – 16 %, terendah di Kecamatan Serengan dan tertinggi di Kecamatan Jebres. Ruang terbuka di Serengan sudah berada di bawah ambang batas sebesar 6%. Satu-satunya Kecamatan yang masih mampu menampung pembangunan permukiman adalah kecamatan Jebres karena masih di bawah 60%. Sementara yang masih memungkinkan penambahan luas indusrtri, perdagangan dan jasa adalah berturut-turut Kecamatan Banjarsari, Serengan dan Pasar Kliwon. Data penggunaan lahan yang masuk kategori lain-lain seperti untuk jalan dan sungai perlu dikaji lebih jauh (lihat tabel dan peta).

Bagaimana dengan Mal Tipes

Rasio Lapangan Olah Raga terhadap jumlah penduduk per kecamatan di Kota Surakarta berkisar dari 0.4 sampai 1.8, terkecil di Serangan dan terbesar di Banjarsari. Kecamatan yang memiliki rasio di bawah 1 sesuai syarat ideal dalam RUTRK, ada dua yaitu Serengan dan Jebres. Sehingga di dua kecamatan tersebut lapangan olahraga yang ada mestinya dipertahankan bahkan kalau bisa ditambah sampai memiliki rasio sama dengan 1 agar ideal. Kebetulan Kelurahan Tipes berada di Kecamatan Serengan.

Kalau dilihat alokasi pemanfaatan ruang pada Kelurahan Tipes, maka permukiman menempati 61% dari total luas wilayahnya sebesar 64 ha. Jasa, industri dan perusahaan menempati urutan kedua sebesar 13%, sedangkan ruang terbuka hanya 2%. Sementara tanah kosong dan lain-lain (jalan, sungai) sebesar 23%, ini yang perlu dicermati lebih jauh (lihat tabel dan peta). Sebetulnya ditinjau secara tata ruang, Kelurahan Tipes masih mampu menampung kegiatan komersil karena masih ada ruang sebesar 4% untuk tanah kosong dan 23% untuk lain-lain yang perinciannya belum jelas. Mal yang akan dibangun disarankan menempati lahan-lahan tersebut kalau mau tetap di Kelurahan Tipes dan lapangan yang ada sebaiknya dipertahankan.

Pada RUTRK lokasi yang mau digunakan mal Tipes, alokasi ruangnya memang bukan untuk tempat olah raga, juga bukan sebagai daerah perdagangan, tetapi sebagai daerah permukiman. Tapi mengingat ruang terbuka di Kelurahan Jebres tinggal 2%, rasio lapangan olahraga dan penduduk < style=""> ruas jalan Veteran yang masuk di Kelurahan Tipes atau ruas jalan Honggowongso karena ruas jalan tersebut di RUTRK juga dialokasikan sebagai daerah perdagangan.

Tidak ada komentar: