04 September 2008

MORFOLOGI PELINDUNG, SEBARAN AWAN PANAS DAN MBAH MARIDJAN


(Catatan kecil seputar Erupsi Merapi 2006 yang belum terpublikasikan)
Awan panas rabu sore (14 Juni 2006) yang meluncur melalui Kali Gendol semakin jauh jarak jangknya, lebih dari 7 km. Morfologi pelindung seperti bukit Kendil, Utuh dan Cemara yang semula ’ampuh’ meredam gerak laju awan panas, mulai rabu sore kemarin tampak ’kewalahan’. Kawasan wisata dan Dusun Kaliadem yang berjarak 5,5 km dan 6,5 km sebelumnya aman, sudah terlampaui. Alur Kali Gendol di bagian hulu mulai penuh dengan material endapan awan panas, sehingga daya tampungnya berkurang. Akibatnya luncuran awan panas semakin jauh ke hilir.

Sementara keteguhan mbah Maridjan bahwa awan panas tidak akan sampai dusunnya sebetulnya dapat dipahami dengan melihat lokasi dusun Kinahrejo ditinjau dari setting morfologinya. Selain jarak dusun tersebut lebih dari 300 m dari alur Kali Gendol, bukit Cemara sebelah timur melindunginya dari rembetan awan panas. Yang perlu dicermati justeru dusun yang berada kurang dari 300 m dari alur utama kali Gendol seperti dusun Kaliadem, Jambu, dan beberapa dusun lain di Kelurahan Kepuharjo dan Glagaharjo karena potensi luncuran awan panas masih besar.

Sebaran awan panas

Sebaran awan panas sangat dipengaruhi oleh setting geologi dan morfologi serta alur kali yang hulunya sampai di puncak. Setting geologi dan morfologi yang mempengaruhi distribusi awan panas adalah patahan, bukit-bukit vulkan tua dan kelompok kawah yang tersarang (nested crater). Patahan hiperbolik yang terbentuk oleh erupsi besar 1000 tahun lalu, tepatnya tahun 1006 (Bemmelen, 1949) membatasi sebaran hasil erupsi periode berikutnya. Erupsi di masa lalu memiliki intensitas besar, seiring berjalannya waktu ada kecenderungan mengecil, terlihat dari rentetan kawah yang semakin mengecil di mana kawah yang lebih tua mengurung kawah yang lebih muda.

Kawah yang paling tua terletak di sebelah timur, sedangkan yang termuda di sebelah barat. Susunan kawah dari timur ke barat dengan bentuk tapal kuda membuka ke Barat menjadikan lereng barat paling terbuka terhadap bahaya G. Merapi, sementara lereng Timur terlindung dari bahaya. Kawah tua dan besar Pasarbubar mengurung kawah yang lebih muda dan lebih kecil yaitu kawah 1872, kawah 1930, dan kawah 1961. Setting kawah tersebut mengontrol distribusi produk erupsi yang mengarah ke barat. Sebaran awan panas ke barat merupakan fenomena umum pada abad 19 dan 20.

Aktivitas Merapi 2006 menunjukkan bahwa erupsi Gunung Merapi bersifat dinamis. Dinamika erupsi mulai tampak saat pusat aktivitas bergeser dari semula diperkirakan pada kawah bagian barat laut-utara dekat dengan pusat aktivitas erupsi sebelumnya (2001), menuju kawah bagian selatan-tenggara (dekat pelataran Gendol). Fenomena runtuhnya geger boyo memperkuat bahwa letusan gunung Merapi tidak terbatas pada jalur tradisional Barat-Barat Daya, tetapi juga bisa mengarah ke sektor lain, dalam hal ini sektor selatan.

Morfologi sektor lereng selatan didominasi relief yang kasar (lereng curam, gradien dan bentuk lereng tidak teratur). Relief kasar berupa dinding patahan Parabolik, bukit-bukit vulkan tua (Turgo, Plawangan, Kendil), aliran lava tua dan muda serta lembah-lembah yang dalam dan terjal (dari Kali Woro, Gendol, Kuning dan Boyong). Alur Kali Gendol dan Woro sampai di puncak, sedang alur Kali Kuning dan Kali Boyong hanya sampai ketinggian 2250 m. Alur sungai Gendol dan Boyong menjadi saluran awan panas pada aktivitas tahun 2006 ini, sementara sungai lain tidak aktif.

Sebaran awan panas saat menuruni lereng atas dan tengah juga dipengaruhi oleh keberadaan bukit-bukit vulkan. Bukit Turgo, Plawangan, Cemoro, Utuh,Kendil, dan Ijo, merupakan deretan bukit vulkan dari arah barat menuju timur di sektor selatan. Bukit-bukit tersebut oleh penduduk setempat dipercaya sebagai morfologi pelindung dari serangan awan panas. Karakteristik morfologi masing-masing bukit berbeda, sehingga kemampuan menahan serangan awan panasnya juga berbeda.

Efektivitas Peredaman Menurun

Salah satu parameter penting yang menentukan suatu bukit bisa meredam luncuran awan panas adalah arah hadap lereng (aspect) bukit tersebut terhadap arah luncuran awan panas. Bila tegak lurus atau memotong arah aliran awan panas, maka bukit tersebut efektif meredam luncuran awan panas. Sebagai contoh Bukit Kendil. Bukit ini memanjang dari arah barat daya-timur laut, dengan arah hadap lereng dominan barat laut. Luncuran awan panas 2006 melalui Kali Gendol menuju arah tenggara terhalangi oleh dinding terjal bukit Kendil tersebut yang tegak lurus terhadap arah luncuran awa panas. Sebagian besar material awan panas mengendap di depan bukit tersebut. Laju awan panas kemudian dibelokkan ke arah barat daya, membentur ujung bukit Utuh dan dinding bukit Cemoro. Awan panas lalu membelok lagi ke arah tenggara menuju lembah antar perbukitan Kendil, Utuh dan Cemoro yang seolah berfungsi sebagai sabo dam alami. Laju awan panas besar Jum’at minggu lalu berakhir 200-an meter dari lembah tersebut, sehingga belum mencapai kawasan wisata Kaliadem. Permasalahannya alur kali Gendol bagian hulu semakin penuh dengan material endapan awan panas, sehingga luncuran awan panas periode selanjutnya semakin jauh ke hilir walaupun awan panas yang meluncur tidak lebih besar daripada awan panas sebelumnya. Dengan demikian efektivitas peredaman dari morfologi pelindung makin hari makin berkurang. Akibatnya luncuran awan panas semakin membahayakan dusun-dusun di kanan-kiri kali Gendol tersebut.

Sementara, bukit Turgo dan Plawangan, bukit tersebut memanjang arah utara dan selatan, sedangkan arah hadap lerengnya dominan timur dan barat. Padahal arah gerak awan panas 1994 dari utara menuju ke selatan atau sejajar dengan arah memanjang bukit, sehingga luncuran awan panas tersebut tidak tertahan. Awan panas tetap melaju melalui alur kali Boyong yang membelah kedua bukit tersebut, menghantam Dusun Turgo dan Kaliurang. Akibatnya 64 orang meninggal dan sebagian dusun Turgo hancur. Bahkan pos pengamatan G. Merapi di puncak bukit plawangan tidak luput dari surukan piroklastik yang mengiringi awan panas tersebut.

Perlu menjadi perhatian karena ada fakta bahwa bencana lebih sering terjadi pada abad 20 dibanding abad 19, bahkan hampir dua kali lipatnya. Pada abad 19 dari 20 kali erupsi, 4 kali menimbulkan bencana, sementara pada abad 20 dari 23 kali erupsi 8 kali terjadi bencana. Padahal ada kecenderungan intensitas erupsi mengecil. Kalau pada abad 19 hanya erupsi besar yang menimbulkan bencana besar, pada abad 20 erupsi kecil pun menimbulkan bencana besar. Artinya bukan erupsi G. Merapi yang semakin berbahaya tetapi penduduk menjadi lebih rentan terhadap bahaya.

Salah satu penyebab mengapa penduduk semakin rentan terhadap bahaya adalah karena setting permukiman penduduk terlalu dekat dengan sungai aktif (<>



Tidak ada komentar: