13 September 2008

KONDISI KERENTANAN MAKSIMUM




TULISAN ini  mengajak pemerintah untuk secepatnya mengalihkan fokus penangan bencana dari modifikasi bahaya semburan lumpur yang terbukti "gagal" beralih ke modifikasi kerentanan, karena risiko bencana  yang lebih besar sudah di depan mata.  Relokasi  penduduk, infrastruktur penting (jalan tol, jalan arteri porong, rel ka, pipa gas pertamina, pipa  pdam)  sudah harus secepatnya dilakukan. Semoga menggugah pihak yang disentil dalam tulisan ini (ditulis pada 3 April 2007).

Judul di atas merupakan himbauan terhadap pemerintah untuk secepatnya mengambil tindakan mengurangi risiko bencana semburan lumpur Sidoarjo dengan mengubah fokus penanganan dari menangani bahaya semburan lumpur yang terbukti “gagal”, beralih menangai kerentanan manusia dan membagi kerugian secara adil. Perkembangan terakhir baik dari sisi sosial-ekonomi maupun lingkungan menempatkan korban pada khususnya dan masyarakat jawa timur pada umumnya, infrastruktur penting (jalan arteri, rel kereta api, pipa PDAM, pipa gas pertamina) pada kondisi kerentanan maksimum (a state of maximum vulnerability).   

 

Satu Fase Lagi Terjadi Malapetaka

            Mengapa modifikasi kerentanan saat ini jauh lebih penting dibanding modifikasi bahaya ? Karena di satu sisi, sifat bahaya luapan lumpur baik primer maupun sekunder sulit dikendalikan atau bahkan tak terkontrol sama  sekali, sama seperti sifat bahaya erupsi gunungapi (khususnya awan panas) atau tsunami yang tidak bisa dikendalikan. Terbukti 4 skenario penghentian semburan lumpur (bahaya primer) mulai dari snubbing unit, sidetracking, relief well dan insersi bola beton belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Penanganan lumpur di permukaan dengan sistem pananggulan juga tidak mudah, berkali-kali terjadi luberan (overtopping), rembesan maupun tanggul jebol dan kondisi kolam penampungan saat ini sudah penuh. Belum lagi ancaman bahaya sekunder berupa amblesan tanah (land subsidence) yang di luar kendali manusia.

Di sisi lain penanganan kerentanan juga sangat lambat, mulai dari status bencana yang belum jelas, tidak ada anggaran di APBN 2007 untuk penanganan semburan lumpur, belum dipindahaknnya infrastruktur penting yang sudah terpengaruh aktivitas semburan lumpur seperti jalan tol yang sudah ditutup, pipa gas pertamina yang sudah meledak dan menewaskan sejumlah orang dan meskipun sudah dipindah, tetapi sekarang terancam lagi karena masih dalam jarak jangkau luberan lumpur, pipa PDAM yang sering pecah karena amblesan, begitu juga rel kereta api yang sering melengkung karena amblesan bahkan sekarang terendam lumpur, serta jalan arteri porong yang sebagian jalurnya juga sudah terendam lumpur dan ditutup. Korban memang sudah diungsikan dan mendapat uang untuk pemondokan serta jatah makanan, tetapi penyelesaian ganti rugi tidak jelas realisasinya dan bahkan untuk warga Perumtas I, pihak Lapindo bersikeras untuk tidak mau memberi ganti rugi tunai (cash and carry), mereka ditawari relokai plus yang ditolak warga dengan rentetan aksi demontrasi. Dengan demikian kondisi sosial ekonomi masyarakat sudah sangat rentan dan ambang batas kerusakan sudah hampir terlampaui, sehingga terjadinya malapetaka hanya tinggal waktu.

Bencana merupakan interaksi dimanis antara aspek bahaya dan kerentanan. Bencana terjadi saat gejala geofisik (atmosferik, hidrologik, geologik,  biologik) maupun man made (teknologik) melampaui kapasistas sosial-ekonomi dan fisiologi penduduk untuk memantulkan (to reflect), menyerap (to absorp) atau menyangga (to buffer) dampaknya. Melihat  kondisi di atas baik dari sisi ancaman bahaya baik primer (semburan lumpur) maupun sekunder (amblesan tanah) yang semakin besar, maupun toleransi sosial ekonomi yang sudah di ambang batas untuk memantulkan, menyerap dan menyangga dampak luberan lumpur maka risiko bencana sangat besar dan malapetaka sudah di depan mata jika tidak segera dilakukan  penangan secara cepat dan benar.

 

Penyesuaian terhadap Bencana

Untuk menyesuaikan diri dengan potensi bencana menurut White dan Hass dalam Assessment of research on natural hazards (1975), ada 3 hal yang bisa dilakukan yaitu modifikasi kejadian (modify the event),  modifikasi kerentanan manusia (modify human vulnerability), dan membagi kerugian (distribute the losses). Kalau kita mencermati upaya pemerintah lewat Timnas Penanggulangan Semburan Lumpur Sidoarjo selama ini,  maka ketiga jenis modifikasi sudah dilakukan tetapi tidak satu pun yang menunjukan hasil yang optimal. Modifikasi kejadian merupakan hal yang paling dominan dilakukan oleh Timnas dibanding 2 modifikasi yang lainnya. Modifikasi kajadian berupa 4 skenario penghentian lumpur boleh dikatakan “gagal”. Modifikasi kerentanan berupa penanggulan juga sudah mencapai tahap kritis karena kolam penampungan sudah penuh  dan tanggul sering jebol. Penanganan dampak sosial-ekonomi juga “tidak beres”, seperti tercermin dari penanganan kerugian yang tidak adil dan tidak jelas realisasinya bahkan sekarang cenderung menjadi bola liar yang mengarah menjadi chaos, seperti tercermin dari rentetan demonstrasi, penutupan jalur arteri dan rel kereta api, pembentukan pansus lumpur Sidoarjo oleh DPRD Jawa Timur, dan bahkan kalau pemerintah pusat tidak bertindah cepat bisa menjadi masalah politik yang serius karena pemerintah bisa “divonis” tidak bisa melindungi warganya dari bencana sesuai amanat Undang-Undang Dasar. Kurangnya optimalnya langkah penanganan oleh Pemerintah menjadikan korban dan masyarakat Jawa Timur, serta infrastruktur penting  pada kondisi kerentanan maksimum. 

Kerentanan total (Total Vulnerability = TV) seperti dirumuskan Alexander dalam Natural Disaster (1993) adalah tindakan yang meningkatkan risiko (Risk Amplification Measures = RAM) dikurangi upaya peredaman risiko (risk mitigation measures = RMM) plus-minus faktor persepsi terhadap risiko (Risk Perception Factors = RPF), atau  dalam bahasa matematik ditulis : TV = RAM – RMM ± RPF. Tindakan yang meningkatkan risiko seperti upaya modifikasi kerentanan berupa penanggulan lumpur dalam volume sangat besar di atas  100.000 m3 per hari sudah tidak mampu lagi ditampung oleh kolam penampungan yang disediakan, padahal pembuatan kanal untuk membuang lumpur ke sungai porong dan selanjutnya dibuang ke laut juga belum berhasil. Akibatnya kejadian luberan lumpur (overtopping) melampaui tanggul atau jebolnya tanggul pengaman menjadi masalah laten yang berulang-kali terjadi, kasus terakhir tenggelamnya rel kereta api dan jalan porong. Upaya peredaman risiko seperti yang dilakukan Timnas berupa modifikasi kejadian berupa 4 skenario seperti sudah disebut di atas juga “tidak berhasil”. Lebih parah lagi, persepsi pemerintah terhadap risiko juga tidak tepat, tercermin dari lambannya pemerintah menetapkan status bencana serta  tidak adanya alokasi anggaran untuk penanganan bencana lumpur dalam APBN 2007.

Di sini pemerintah terjebak pada logika menunggu status bencana jelas dulu, sehingga siapa yang bertanggung jawab juga menjadi jelas, apakah pihak Lapindo atau pemerintah. Logika seperti ini semestinya tidak dilakukan pemerintah karena tugas pemerintah adalah melindungi segenap warganya termasuk dari ancaman bencana, mengingat di lapangan bencana betul-betul sudah menyengsarakan rakyat dan dampak bencana juga membahayakan perekonomian jawa timur. Masalah tanggung jawab pihak Lapindo jika terbukti bersalah bisa diurus belakangan setelah penanganan bencana di lapangan dilakukan.  Oleh karenanya, debat berkepanjangan mengenai penyebab luapan lumpur apakah man made disaster (kesalahan prosedur pengeboran), gejala alam (mud volcano), atau gabungan keduanya sudah saatnya dihentikan, biarlah itu menjadi urusan pihak penyidik.

Melihat kondisi kerentanan yang sudah mencapai tahap maksimum dan dampak sosial ekonomi yang sangat besar, langkah yang harus secepatnya dilakukan pemerintah adalah mengambil terobosan kebijakan dengan secepatnya menetapkan semburan lumpur Sidoarjo sebagai bencana nasional dan menyiapkan dana talangan untuk menangani bencana tersebut dengan lebih memfokuskan penanganan kerentanan dibandingkan penanganan bahaya yang terbukti “gagal”.  Pemerintah secepatnya merelokasi penduduk dan infrastruktur penting pada jarak yang aman, sebelum terlambat dan menjadi malapetaka besar.

Tidak ada komentar: