13 September 2008

HUT KE-261 KOTA SOLO: KEMBALI KE KHITTAH




Tulisan ini merupakan respons penulis terhadap Visi Walikota Joko Widodo "Solo ke depan adalah Solo tempo dulu¨ (ditulis pada 15 Februari 2006)
Di hari jadinya yang ke-261 Kota Solo menyimpan banyak masalah. Maraknya permukiman liar dan kumuh di bantaran kali dan rel kereta api, penggunaan jalur pedestrian oleh pedagang kaki lima (PKL), tergusurnya ruang terbuka dan taman kota oleh pasar modern (mal), terbengkalainya bangunan-bangunan kuno yang bersejarah, semakin padatnya lalu lintas kota yang menimbulkan pencemaran udara, pencemaran kali-kali oleh industri yang menjadikan tubuh air hitam pekat dan bau, dan sederet permasalahan lain.
Collins dalam "America¡'s Downtown: Growth, Politics and Preservations" mensinyalir bahwa kebanyakan kota menghadapi permasalahan menurunnya kualitas lingkungan perkotaan (the decay of urban environment) yang ditandai kemacetan (congestion), polusi air dan udara (water and air pollution), menurunnya kualitas permukiman dan lahan yang diterlantarkan (deterioration and derelict land), serta hilangnya fungsi ruang terbuka (the disappearance of useful open space). Inilah fenomena yang terjadi di Kota Solo saat ini. Bila hal semacam ini dibiarkan bisa-bisa mengarah kepada penghancuran diri kota di masa depan. Bukannya menjadi city of tomorrow (kota masa depan) malah mejadi city of sorrow (kota kesedihan), dan metropolis akan menjadi miseropolis (kota yang menyengsarakan).
Tidak melulu masalah tentunya sederet prestasi juga ditorehkan Kota ini. Kota ini merupakan salah satu pioner pembangunan partisipatif melalui muskelbang (musyawarah kelurahan membangun), muscambang (musyawarah kecamatan membangun) dan muskotbang (musyawarah kota membangun) yang sudah berlangsung beberapa tahun. Kota ini juga langganan mendapat Wahana Nata Nugraha dari Dirjen Perhubungan Darat (tahun 2002, 2003, 2005 dan 2006), sebuah lambang supremasi kedisiplinan dalam berlalu lintas dan merupakan satu-satunya kota besar di pulau Jawa yang mendapatkannya. UPT Teknis Perijinan usaha yang memudahkan investasi juga dipuji oleh Ketua BKPM sebagai salah satu yang terbaik di negeri ini. Penataan PKL dengan menyediakan shelter khusus yang merupakan implementasi konsep ¨internalisasi eksternalitas¨ juga patut diapresiasi. Rencana memperlebar jalur pedestrian (city walk) di jalan Slamet Riyadi serta pembahasan Raperda Pengendalian Lingkungan mesti didukung dan secepatnya direalisasikan.
Pertanyaannya adalah bagaimana mengelola Kota Solo dengan segala keterbatasannya agar dinamika kota bisa mengakomodasi seluruh kepentingan stakeholder di satu sisi, di sisi lain lingkungan kota tidak mengalami kemunduran secara ekologis, sehingga fenomena di atas dapat ditekan seminimal mungkin. Atau dalam bahasa yang lebih sederhana bagaimana membangun tata lingkungan kota yang baik (good urban environmental governance) sehingga ada keseimbangan antara aspek ekonomi dan ekologi. Di sisi lain bagaimana membangun kota yang berkarakter, kota yang memiliki jati diri, dan kota yang menghargai warisan budayanya (cultural heritage), sehingga Kota Solo memiliki keunikan dan landmark tersendiri yang pada akhirnya bisa dibanggakan oleh warganya.

Sejarah dan Perkembangan Kota Solo
Kota Solo (resminya Surakarta) dibangun pada tahun 1745, dimulai dengan pembangunan Keraton Kasunanan sebagai ganti ibu kota Kerajaan Mataram di Kartasura yang hancur. Pada tahun 1742, pasukan Cina-Jawa di bawah pimpinan Sunan Kuning memberontak melawan kekuasaan Paku Buwono II yang bertakhta di Kartasura. Pasukan Madura dibawah pimpinan Cakraningrat IV juga turut memberontak (Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, 2000). Begitu hebatnya pemberontakan ini, Keraton Kartasura sampai hancur dan PB II menyingkir ke Ponorogo, Jawa Timur. Berkat bantuan VOC, pemberontakan dapat ditumpas dan Kartasura direbut kembali, tapi sudah hancur. Lantas dibangunlah keraton baru di Solo, 6 km ke arah selatan-timur dari Kartasura. Dan pada tanggal 17 Januari 1745 dilakukan pemindahan istana (boyong kedhaton) dari Kartusura menuju Solo. Peristiwa inilah yang menjadi momen historis yang diperingati tiap tahun sebagai HUT Kota Solo.
Keraton Kasunanan terletak dekat Bengawan Solo yang mengalir di sebelah timurnya, dan kota berkembang ke arah barat dan barat laut, di sekitar istana Mangkunegaran yang bagaikan suatu pusat tambahan, dan di sekitar taman besar Sriwedari. Struktur denah berkotak sebenarnya sudah disesuaikan dengan kedua anak Bengawan Solo, yang mengalir dari barat laut ke tenggara, yaitu Kali Pepe dan Kali Premulung, dan urat nadi kota adalah yang kini menjadi Jalan Slamet Riyadi yang merentang dari barat ke timur.
Seorang perwira Prancis yang mengunjungi Surakarta pada pertengahan abad 19 mencatat: Kota yang dikatakan dihuni 100.000 penduduk itu, sebenarnya tidak lain dari sekumpulan desa karena terdiri dari gugusan-gugusan rumah yang sepenuhnya dikelilingi oleh kebun-kebun.¨Saat ini Kota Solo tidak hijau lagi, dan penduduknya pada awal abad 21 meningkat 5 kali lipatnya sekitar 500.000-an. Dari keseluruhan luas kota (4.404 hektar), luas kawasan terbangun (built up areas) telah mencapai 88,47% atau 3.896 hektar. Meskipun demikian kota ini tetap mendapatkan predikat sebagai kota bersih dan hijau (clean and green city), sehingga mendapat trofi Bangun Praja (Good Environmental Governance) dari Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) pada tahun 2003.
Lahan di wilayah Kota Surakarta yang terbatas menyebabkan wilayah perkotaan berkembang ke wilayah administrasi tetangga (urban sprawl), yakni ke wilayah Sukoharjo, Karanganyar dan Boyolali. Berdasar studi Tim Proyek Pengembangan Program Kota Terpadu (P3KT), luas wilayah perkotaan Surakarta (Aglomerasi Perkotaan Solo) saat ini telah mencapai 11.000-12.000 hektar atau berkembang tiga kali lipat yang meliputi seluruh wilayah administrasi Kota Surakarta, sebagian wilayah Kabupaten Sukoharjo (Kecamatan Kartosuro, Grogol, Baki, dan Mojolaban) seluas 3.166 hektare, dan Kabupaten Karanganyar (Kecamatan Jaten dan Colomadu) seluas 1.143 hektare. Data itu merupakan hasil analisis pada tahun 1993, sehingga saat ini tentu sudah berkembang lebih luas lagi.

Visi ke Depan
Walikota Solo Joko Widodo dalam bincang pagi dengan para stakeholder di Hotel Quality dalam menyambut HUT ke-261 Kota Solo pada 17 Februari 2006 mengungkapkan statement yang menarik, "Solo ke depan adalah Solo tempo dulu¨. Blue print pengembangan dan pembangunan kota Solo baik yang bersifat fisik, nonfisik, sektoral, maupun keseluruhannya akan selalu mengacu pada jati diri dan potensi wilayah bersangkutan sebagai kota budaya. Kota budaya yang bertumpu pada perdagangan, jasa, pendidikan, pariwisata, dan olahraga, sesuai dengan Perda Nomor 10 Tahun 2001.
Solo bukanlah kota biasa. Solo merupakan kota empat zaman, yakni solo sebagai kota tradisional, kota kolonial, kota modern, dan menapak menuju kota internasional. Pada dua karakter yang pertamalah jati diri Solo berakar, sedangkan dua karakter yang terakhir adalah sifat keniscayaan dari pertumbuhan kota yang tidak bisa dielakkan oleh semua kota di mana pun di dunia. Dikotomi dua sifat itu tidak boleh dipertentangkan justru harus diintegrasikan dan disinergikan agar menghasilkan kemaslahatan sosial-ekonomi sebesar-besarnya bagi warganya.
Permasalahannya dua karakter pertama penangannya kurang cepat dan serius dibanding dua karakter berikutnya. Indikator paling mencolok adalah belum adanya rencana revitalisasi Benteng Vasternberg yang hanya berjarak ratusan meter dari balaikota. Memang sudah ada beberapa usaha revitalisasai cultural heritage seperti Alut dan Alkid Keraton Kasunanan, Kampung Batik Laweyan, dan beberapa simpul budaya yang lain termasuk diadakannya kirab budaya setiap memperingati HUT Kota Solo mulai beberapa tahun lalu, tetapi belumlah cukup. Di sisi lain pembangunan mal begitu cepat, dalam dua tahun lebih dari 5 mal didirikan belum termasuk business square yang lain.
Kota ini seolah memiliki "memori pendek¨, baru 7 tahun lalu luluh lantak oleh kerusuhan sosial, yakni pada tanggal 14 dan 15 Mei 1998 yang menelan korban jiwa 33 orang, 500 buah tempat usaha dan kerugian hampir setengah trilyun. Kota ini terlalu PD memacu pertumbuhan ekonomi "yang terlalu cepat¨ dan terkesan meminggirkan pemain lokal, sehingga ruang gerak ekonomi kerakyatan semakin sempit, dan ujungnya kesejahteraan sebagian masyarakat menurun. Padahal akar masalah kerusuhan salah satunya adalah himpitan ekonomi pada dataran akar rumput. Inilah yang perlu diperhatikan oleh pengambil kebijakan, disamping mengejar pertumbuhan perlu juga menjamin pemerataan dan akses ekonomi semua stakeholder.
Sebagai penutup, sudah saatnya Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) 1993-2013 ditinjau ulang, meskipun "ruh kota" seperti tertuang di dalam Dalam RUTRK tersebut bahwa Kota Solo ditetapkan dan ditegaskan menjadi kota pariwisata, budaya dan olah raga masih relevan dengan visi kota. Tetapi mengingat struktur ruang kota yang berubah secara signifikan, khususnya setelah reformasi 1998 dan perlunya internalisasi kaum marjinal dalam tata ruang kota seperti sudah diungkap penulis (Kompas, 18/10/2004), maka revisi RUTRK merupakan suatu kebutuhan yang mendesak untuk mengimbangi dinamika kota yang cepat agar tetap terkendali.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

menurut saya pemkot solo harus melihat tata ruang kota pada kota-kota modern di Eropa(kolonial) dimana zona industri,zona keg.ekonomi/bisnis,& tempat tempat bersejarah terletak terpisah dan mempunyai jaringan transportasi yang berbeda. nova Ari D.

Yasin Yusuf mengatakan...

Setuju mba Nova.. mestinya memang ada pembagian zona-zona khusus yang ditaati, sehingga tidak overlap seperti saat ini.. Di bawah Djokowi penataan ruang sebetulnya mulai jalan, dari PKL, ruang terbuka hijau, saluran drainase, sampai permukiman kumuh dan liar.. tetapi untuk cultural heritage masih kurang.. mungkin terkait pemindahan kepemilikan lahan oleh perorangan.. semoga ada kemajuan.. malu jadi tuan rumah pertemuan cultural heritage, kalau tidak ada perubahan di bidang ini..